Blitar, Sentra Ikan Koi dalam Negeri

  • Bagikan
Patung koi di Kabupaten Blitar

Mediatani – Blitar merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Jawa Timur yang dikenal sebagai daerah pembudidaya ikan hias. Umumnya ikan hias yang dibudidayakan di daerah yang berjarak kurang lebih 170 km dari Kota Surabaya ini adalah berbagai jenis ikan koi.

Di daerah yang menjadi tempat pengistirahatan terakhir Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno ini, terdapat beberapa patung ikan Koi yang terpampang di beberapa titik kota, termasuk yang berada di depan alun-alun.

Keberadaan patung Koi tersebut menandakan bahwa ikan Koi telah menjadi komoditas primadona di Kabupaten ini. Di tahun 2020, Kabupaten yang memiliki luas wilayah kurang lebih 1588 km2 ini mampu memproduksi sekitar 260 juta ekor ikan koi. Hal itulah yang membuat Kabupaten Blitar ini dijuluki sebagai Kota Koi

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar Adi Andaka menceritakan bahwa ikan koi sudah dibudidayakan di Blitar sejak tahun 1980-an. Konon, bibit-bibit ikan koi berasal dari Jepang yang dibawa oleh istri dari Soekarno, Naoko Nemoto atau biasa dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi.

“Konon ceritanya, bibit ikan koi ini dibawa oleh istri dari Soekarno yaitu Ratna Sari Dewi. Mengingat beliau adalah orang Jepang dibawalah bibit ikan koi tersebut ke Blitar,” tutur Adi dilansir dari Detik.

Adi mengatakan ada berbagai factor yang membuat ikan koi bisa menjadi primadona di Kabupaten Blitar, diantaranya yaitu faktor agroklimat, sebab kondisi alam di Blitar sangat cocok untuk membudidayakan ikan koi.

“Barangkali kualitas air dan sebagainya, sehingga warna koinya itu bisa cerah seperti yang ada di Jepang dan itu menjadi berkembang. Dan sekitar tahun 1980 sudah berkembang hingga sekarang,” jelas Adi.

Kemudian ikan koi itu semakin dikembangkan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Saat berkunjung ke Kabupaten Blitar, mantan Menteri di zaman Presiden SBY itu mengadakan kontes koi dengan membawa nama ‘Piala Presiden’.

“Waktu itu Pak Fadel minta izin ke Pak SBY untuk membuat kompetisi ini, dan akhirnya di Blitar itu ada Piala Presiden dan salah satunya adalah kontes koi. Jadi Piala Presiden untuk koi adanya cuma di Blitar. Jadi nggak cuma bola, koi juga ada Piala Presidennya,” tutur Adi.

Salah satu lokasi yang menjadi sentra ikan koi di Kabupaten Blitar yaitu di Desa Sumbersari, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar Jawa Timur. Di lokasi tersebut, terdapat suatu kelompok pembudidaya yang menamai dirinya Beringin Koi.

Di lokasi tersebut terdapat lahan sekitar 30 hektar dengan 225 kolam yang berisikan ikan koi kecil (nener) 2.100.000 ekor, ukuran 10- 20 cm 700.000 ekor dan ukuran 20-25cm, 70.000 ekor milik anggota peternak koi di Desa Sumbersari.

Pada lahan seluas 30 hektar tersebut, terdapat lahan seluas 240 RU atau 3.160m persegi milik salah satu kelompok koi pemenang kontes, yaitu Beringin Koi.

Ketua Kelompok Beringin Koi Krisnowo menjelaskan untuk ukuran ikan 15-20 cm yang memiliki kualitas dan semua aspeknya yang paling bagus memiliki kisaran harga Rp 2.000.000-3.000.000 dari petani.

Bahkan, di tahun 2020 lalu, ia juga mengatakan pernah menjual satu ikan koi lokal seharga Rp 10.000.000. Ikan koi tersebut memiliki panjang 45 cm.

Menurutnya, ikan koi dapat berkembang baik di daerahnya karena kualitas airnya yang bagus. Idealnya untuk merawat ikan koi memerlukan kondisi air yang pH tidak terlalu tinggi atau berada di kisaran pH 7 dan 7,5.

Selain itu, kadar oksigen di air dan suhu di air juga berpengaruh pada perawatan koi. Menurutnya, suhu yang bagus untuk ikan koi itu sekitar 30 C. Kulitas air tersebut cukup mempengaruhi warna ikan koi yang dibudidayakan.

Namun, setiap kolam terkadang memiliki hasil yang berbeda-beda. Apalagi jika sudah berbeda wilayah atau kecamatan, kualitas air yang berbeda, mulai dari kadar oksigennya hingga pH tersebut membuat ikan koi juga memiliki warna yang berbeda.

Krisnowo bahkan kerap membeli bibit yang diimpor langsung dari Jepang untuk menjaga kualitas ikan yang dihasilkan. Sebab, seringkali keturunan yang tidak langsung dari Jepang memiliki kualitas yang menurun, seperti pada body ikan dan juga bintik yang menjadi mahkota dari ikan koi.

“Nah, karenanya kita terus melakukan perbaikan dengan mengimpor pejantan dari Jepang setiap 5 tahun sekali,” imbuh Krisnowo.

Krisnowo juga mengatakan bahwa pada tahun 2013, dirinya mengikuti program KUR untuk mengembangkan usahanya. Sebelumnya, ia mengaku sulit mengembangkan kolam karena kebanyakan peternak koi pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun setelah memperoleh pinjaman tersebut, ia dapat menyewa lahan, mendapat pendapatan lebih hingga memiliki tabungan. Menurutnya, saat ini omset usahanya telah meningkat sampai 300%.

“Karena kita kan jika mau menambah lahankan harus sewa dan otomatis butuh modal dan jika tidak ada pinjaman ya pasti susah. Ketika lahan sudah bertambah ya pendapatan juga otomatis bertambah,” pungkasnya.

  • Bagikan