Mediatani – Isu kesenjangan upah berdasarkan perbedaan gender (gender pay gap) di sektor pertanian telah mengakar tanpa adanya perubahan yang signifikan terhadap keadilan ekonomi bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari sistem pembagian kerja yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di sektor produksi pertanian, dampaknya adalah buruh tani perempuan akan mendapatkan upah yang lebih sedikit.
Pada tahun 2017, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa di sektor pertanian, laki-laki mendapat upah yang lebih besar sejumlah Rp 1.93 juta per bulan dibandingkan upah yang diterima perempuan sejumlah Rp 1.14 juta per bulan. Hal ini juga didukung dengan hasil riset Korn Ferry Gender Pay Index dimana kesenjangan upah gender di Indonesia secara keseluruhan sebesar 5.3% dimana wanita hanya dibayar 1.7% lebih rendah dengan posisi pekerjaan yang sama.
Pembagian kerja secara gender di bidang pertanian terbentuk karena perbedaan struktur genetis antara laki-laki dan perempuan. Namun, stigma gender perempuan yang memiliki sifat yang lebih lembut (tidak banyak menuntut kekuatan fisik), sabar dan teliti terhadap pekerjaan menghalangi perempuan untuk mendapatkan peluang di posisi tertentu dengan upah yang layak.
Padahal, buruh tani perempuan melakukan peranan yang substansial mulai dari penanaman benih, penyiangan, pemeliharaan, panen hingga pasca panen dimana dari hasil yang dikerjakan pun menunjukkan hasil yang baik. Artinya perbedaan produktivitas bukanlah alasan utama pembedaan upah antara buruh tani lak-laki dan perempuan.
Pembagian kerja berdasarkan gender inilah yang kemudian menghubungkan norma-norma dan proses sosial budaya masyarakat yang membentuk sifat deterministik dimana perempuan semakin terikat dengan peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga daripada peran publiknya.
Pandangan lain menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi upah kerja tidak selamanya karena diskriminasi gender seperti adanya kesesuaian pekerjaan, kualifikasi, jam kerja, kinerja serta kondisi lain yang mengikutinya. Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pembedaan upah antara buruh tani laki-laki dan perempuan hanya berdasarkan gender meskipun di jenis pekerjaan yang sama. Dampak buruk dari mata rantai pay gap gender ini sering diyakini sebagai sebuah kebenaran yang lumrah dari generasi ke generasi.
Meminimalisir Praktik Gender Pay Gap
Lalu, bagaimana seharusnya sistem di masyarakat dan pemerintah meminimalisir praktik gender pay gap?
Pendekatan pertanian berwawasan gender menjadi isu penting berkaitan dengan pembagian kerja dimana peranan dan prioritas perempuan dan laki-laki tidak dilihat secara terpisah untuk menentukan pengupahan yang sesuai. Ketimpangan ekonomi yang dialami perempuan tani inilah yang berkontribusi pada kemiskinan khususnya bagi perempuan tani yang bekerja sebagai buruh tani, ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga.
Dalam Jurnal Studi Islam Gender dan Anak oleh Eko Setiawan, Konstruksi Sosial Pembagian Kerja dan Pengupahan Buruh Tani, usulan kebijakan pemerintah melalui nota kesepahaman, antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dan Kementerian Pertanian (Kementan) bisa mengupayakan langkah-langkah seperti; memastikan akses setara untuk kaum perempuan dan laki-laki terhadap informasi permodalan dan pemanfaatan sarana dan prasana pertanian; mengupayakan peningkatan ketrampilan perempuan melalui pengenalan teknologi baru yang dapat diimplementasikan secara efektif dan terjangkau; dan membantu kaum perempuan maupun laki-laki memahami pola tanam, sistem irigasi dan produksi pertanian.
Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan, petani perempuan khususnya buruh tani perempuan bisa mengakses peluang kerja dan upah yang sama dengan buruh tani laki-laki dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraannya.