Mediatani – Keresahan masyarakat terhadap naiknya harga minyak goreng bukan merupakan hal yang baru pertama kali terjadi. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengungkapkan bahwa petani sawit tidak sepenuhnya menikmati atau memperoleh keuntungan dari naiknya harga minyak goreng ini.
Harga minyak goreng yang meroket sudah pernah terjadi di tahun 2008. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu terjadinya krisis pangan dunia akibat penggunaan bahan pangan untuk biofuel, termasuk kelapa sawit.
“Petani sawit juga konsumen minyak goreng. Kenaikan minyak goreng tetap menjadi beban bagi petani sawit,” ujarnya dilansir dari Kompas, Kamis (24/3/2022).
Henry menjelaskan, jika melihat nilai tukar petani (NTP) selama Februari 2022, subsektor tanaman perkebunan masih terus menunjukkan tren yang positif. Terjadi kenaikan sebesar 0,90 persen jika dibanding bulan sebelumnya. Nilainya pun berada di angka 133, hampir naik 1,5 kali lipat dari batas impas di 100.
Kenaikan ini didukung oleh naiknya harga tandan buah segar (TBS) sawit. Meskipun begitu, kenaikan harga TBS juga diikuti oleh kenaikan harga saprodi. Kemudian, dibarengi dengan kenaikan harga pupuk, seperti urea Rp 400.000 per 50 kg per karung, NPK Rp 750.000, dan KCL Rp 630.000.
“Artinya ketika terjadi kenaikan harga jual sawit, pada saat yang sama Biaya Produksi dan Penambahan biaya modal (BPPBM) dan biaya kebutuhan rumah tangga ikut naik,” sambung Henry.
Ia berpendapat bahwa selama ini pemerintah berpedoman pada tata niaga minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi bahan baku minyak goreng berdasarkan pasar global. Hal ini membuat jumlah, jenis produksi (B20, B30, dan seterusnya), sampai harga dan pasarnya menjadi mengikuti tata niaga tersebut.
Akibatnya, kenaikan harga CPO tersebut juga membuat harga minyak goreng berbasis sawit secara otomatis ikut mengalami kenaikan.
Menurutnya, jika tidak negeri ini tidak berdaulatnya atas komoditas tersebut, maka besar kemungkinan gejolak yang terjadi di tingkat global akan sangat berpengaruh ke dalam negeri. Selain itu, di dalam negeri sendiri tidak terdapat kebijakan yang menaruh pihak pada perkebunan sawit rakyat.
“Hingga saat ini petani sawit diperlakukan agar tidak menguasai setiap aspek sawit mulai dari hulu, pengolahan pasca panen yang mencakup pabrik kelapa sawit, penyulingan. Termasuk produksi minyak goreng sampai pemasaran dan distribusinya,” jelasnya.
Hal yang perlu dicatat, tambah Henry, pemerintah telah mencabut kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang sebelumnya mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06 Tahun 2022 terkait Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Regulasi tersebut terbit dan menyusul adanya kenaikan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021. Pencabutan kebijakan tersebut dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi di kalangan masyarakat.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah terus memperhatikan situasi penyaluran dan ketersediaan minyak goreng di Tanah Air.
Hal tersebut disampaikannya usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (15/3/2022) sore, di Istana Merdeka, Jakarta.
Terkait hal tersebut, harga minyak goreng kemasan tidak lagi diatur oleh pemerintah sebagaimana aturan sebelumnya, namun akan menyesuaikan dengan harga keekonomian.
Dengan memperhatikan perkembangan situasi yang terjadi, pemerintah juga memutuskan untuk memberikan subsidi pada harga minyak goreng curah, sehingga masyarakat bisa mendapatkannya dengan harga Rp 14.000 per liter.