Mediatani – Di tengah terjangan pandemi yang memporak porandakan kondisi perekonomian termasuk kegiatan ekspor luar negeri, Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS) justru sukses mengekspor 12 ton kakao ke Belanda.
Keberhasilan tersebut dicapai berkat dukungan penuh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Yayasan Kalimajari, Bea Cukai dan berbagai pihak lainnya yang berupaya agar kegiatan ekspor dilakukan secara mandiri.
Awalnya, Koperasi KSS mengalami kesulitan untuk mengirim sampel produk kakao ke negara tujuan akibat kondisi pandemi Covid-19. Berhentinya roda bisnis pembeli di Eropa menjadi kendala utama. Selain itu, proses administrasi dan pemeriksaan produk dan dokumen juga menjadi tugas berat Koperasi KSS.
Oleh karena itu, LPEI sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan RI bekerja sama dengan Bea Cukai Denpasar Untuk mengatasi kendala yang dialami oleh Koperasi KKS. Langkah yang LPEI lakukan yaitu dengan membantu dan mendampingi koperasi serta petani untuk produksi hingga distribusi ke mancanegara.
“Dalam hal ini, LPEI memahami kesulitan KSS dalam menjalankan ekspor saat pandemi ini. Setelah berkordinasi dengan Bea Cukai Denpasar, akhirnya masalah itu dapat diatasi, bahkan akhirnya dapat melakukan ekspor secara mandiri,” ucap Corporate Secretary LPEI, Agus Windiarto, dilansir dari FinanceDetik, Kamis (22/10/2020).
Agus menjelaskan, selama pandemi Covid-19, LPEI melalui program jasa konsultasi yang dimiliki tetap secara aktif melakukan pendampingan yang intensif terhadap dua desa devisa binaan LPEI yang berada di Bali dan Yogyakarta. Secara periodik pendampingan tersebut dilakukan dengan sistem daring (online).
Sementara itu, Direktur Yayasan Kalimajari I Gusti Agung Widiastuti membenarkan bahwa KSS ini masuk dalam Desa Devisa Kakao binaan LPEI di Desa Nusasari, Jembrana, Bali. Ia mengaku mendapat pendampingan dan pelatihan kapasitas produksi produknya mengenai ekspor dari LPEI.
Widi menceritakan, pada 2019 lalu Koperasi KSS ini hanya memiliki satu buyer dari luar negeri dengan jumlah pengiriman kakao tidak mencapai 8 ton. Di awal pandemi mereka kehilangan 3 pesanan sebanyak 19 ton dari buyer potensial di luar negeri. Banyaknya pesanan ekspor yang terpaksa tertunda disebabkan karena sejumlah negara menerapkan kebijakan lock down.
Namun, Widi mengungkapkan Koperasi tetap berupaya menjaga arus kas tetap berjalan dan sustain agar para petani kakao tidak beralih komoditas. Dengan kerja keras, koperasi tetap bisa membantu 609 petani kakao yang menjadi binan di Desa Devisa ini.
Menurutnya, LPEI ini merupakan salah satu lembaga yang paling membantu para petani kakao di Jembrana. Pasalnya, saat awal dibentuk koperasi KSS ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan dasar terkait ekspor barang.
“Tapi keinginan kami untuk ekspor itu sudah ada, ada satu milestone kami niat sekali untuk ekspor suatu hari. Tapi dulu KSS tidak mengerti urusan bisnis, urusan kami ya mendampingi petani, karena itu dengan LPEI kami ingin belajar manajemen ekspor,” jelas dia.
Sampai pada akhirnya di tahun 2015 dengan bantuan pihak ketiga, pengiriman sampel perdana berhasil dilakukan ke Prancis. Meski menggunakan pihak ketiga, KSS tetap memperoleh langsung pembayarannya. Hanya sayangnya, karena pengiriman yang terlalu lama, biji kakao menjadi lembab karena perubahan suhu dari panas ke dingin.
Sejak saat itu, mereka pun belajar untuk melapisi packing pengiriman hingga 3-4 layer. Hingga di tahun 2019, para petani kakao di Desa Jembrana sudah memproduksi sekitar 81,6 ton biji kakao fermentasi. Tujuan negara pengiriman pun mulai bertambah, ada Prancis, Belgia, Jepang dan Australia. Volume pengiriman ke Prancis juga telah mencapai 12,5 ton setiap tahunnya.
“Luar biasa fondasi kami dibantu oleh LPEI, jika tidak ada training itu, maka kami benar-benar blank,” ungkapnya.
Widi mengimbau kepada semua koperasi produksi untuk tidak takut bermimpi melakukan ekspor. Ia mencontohkan KSS yang dulunya merupakan koperasi yang dibentuk oleh Pemkab Jembrana ini, sebenarnya sudah bangkrut pada 2006.
Namun kedatangannya membawa program kakao, dan Kalimajari ini untuk terus berupaya menguatkan manajemen dan mulai menjalankannya lagi pada tahun 2013.
“Dulu koperasi KSS sempat disebut Koperasi Sakit-sakitan, karena banyak yang korupsi dan tidak mengurusi koperasi ini dan disebut tidak perlu diurus lah. Tapi kami tidak putus asa, kami punya mimpi suatu saat bisa berdiri di depan kontainer (untuk ekspor) milik KSS,” kenang dia.
Widi tak memungkiri pembinaan petani memang membutuhkan proses, apalagi menghadapi 609 petani yang tidak semuanya langsung bisa diajak bergabung. Oleh karena itu, koperasi harus punya daya juang yang kuat dan harus disusun bersama-sama. Serta memiliki sistem traditional culture untuk menguatkan di segala kondisi.
Program Desa Devisa ini juga berhasil mendapatkan penghargaan Global CSR Award untuk kategori “Empowerment of Women”. Hal ini karena LPEI sebagai pendamping memiliki komitmen tinggi untuk menjalankan prinsip keberlanjutan usaha dan menerapkan tanggung jawab sosial yang berdampak nyata.
Selain itu, koperasi memberdayakan 5 perempuan untuk memberikan pelatihan ke perempuan lain untuk bisa bekerja dan dilakukan secara berkesinambungan.