Mediatani – Saat ini Pemerintah Indonesia masih fokus untuk memperhatikan resiko penolakan produk perikanan dari Indonesia saat tiba di negara tujuan ekspor. Diharapkan, kejadian yang kerap terjadi pada 2020 lalu itu tidak terulang lagi hingga di masa mendatang.
Produk perikanan yang berasal dari Indonesia hingga saat ini masih biasa ditolak oleh negara tujuan ekspor. Penolakan itu dilakukan karena produk perikanan tidak memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan negara tersebut.
Adapun beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, diantaranya adalah Amerika Serikat, Tiongkok, negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Uni Eropa, dan negara yang masuk kawasan Timur Tengah.
Kepala Badan Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja mengungkapkan bahwa kejadian produk perikanan yang ditolak tersebut diketahui setelah US Food and Drug Administration (FDA) mengumumkan data terakhir per Desember 2020.
“Pada 2020 terdapat 97 kasus penolakan ekspor perikanan dari Indonesia,” terangnya baru-baru ini di Jakarta.
Karena adanya penolakan tersebut, maka mutu dari setiap produk perikanan Indonesia yang akan diekspor harus selalu diperhatikan dan bahkan harus sudah terjamin. Hal itu perlu dilakukan agar kualitas produk perikanan yang berasal dari Indonesia bisa dipercaya dan daya saingnya meningkat di pasar dunia.
Menurut Sjarief, setiap produk perikanan yang berasal dari Indonesia yang memiliki kualitas mutu yang terjamin memang bisa meningkatkan kepercayaan pasar dunia. Sehingga, produk perikanan bisa terus berjalan dan bahkan meningkat meski situasi sedang dilanda pandemi COVID-19.
“Harus dipastikan bahwa customer akan menerima produk berkualitas, bermutu baik, tidak tercemari kontaminan kimia, biologi, maupun fisik yang dapat mengganggu perdagangannya,” terang dia.
Untuk menjamin mutu setiap produk perikanan dari Indonesia, Sjarief Widjaja meminta Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) KKP untuk mengembangkan metodologi pada proses pengujian deteksi kontaminasi ikan.
Dengan dilakukannya pengembangan metodologi tersebut, setiap produk yang dihasilkan dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat lolos ke tahap berikutnya untuk dijadikan produk ekspor. Padahal sesungguhnya, produk perikanan tersebut mengandung kontaminan.
“Sehingga tidak ada lagi negara yang menolak produk perikanan Indonesia,” tegas Sjarief.
Lebih lanjut Sjarief Widjaja menjelaskan, peningkatan mutu dan pengawasan yang diperketat perlu dilakukan terhadap setiap produk perikanan yang berasal dari dua subsektor tersebut, karena produk yang dikirim untuk ekspor bukan hanya yang bisa langsung dikonsumsi saja.
Dari produk perikanan Indonesia yang diekspor, tambah Sjarief, diantaranya ada juga yang dikirim dalam bentuk mentah (raw material). Untuk itu, kualitas mutu setiap produk tersebut juga harus bisa dipastikan dan terjamin dengan sangat baik.
“Tentu saja harus dipastikan bahwa tidak ada kontaminan-kontaminan yang terkandung di dalam produk yang kita kirim. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan test kit pengujian bahan berbahaya dalam produk perikanan untuk mengurangi risiko penolakan ekspor produk kita,” tegasnya.
Salah satu peneliti dari BBRP2BKP yang fokus pada keamanan pangan, Dwiyitno menjelaskan bahwa hambatan yang umum biasa dihadapi oleh pelaku eksportir produk perikanan dari Indonesia, adalah produk yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan negara tujuan ekspor.
Penolakan tersebut dipicu oleh kandungan kontaminan, yang diantaranya adalah cemaran logam berat berupa merkuri dan kadmium, bakteri patogen, kandungan histamin yang melebihi ambang batas dan kontrol suhu yang buruk.
Selain itu, mutu produk yang berkurang, adanya kontaminasi kotoran pada produk, dan cemaran obat/bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan/melebihi ambang. Beberapa produk perikanan yang sering ditolak oleh negara tujuan ekspor adalah Udang, Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TCT), Marlin, Rajungan, dan Gurita.
“Produk-produk tersebut mengalami penolakan saat dikirim sebagai produk ekspor dengan tujuan ke sejumlah negara di Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Tiongkok,” sebutnya.
Menurut Dwiyitno, sebenarnya produk kelautan Indonesia yang ditolak itu bisa diantisipasi melalui beragam cara yang bisa diterapkan sejak sebelum dikirim. Dwiyino mengatakan langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan monitoring secara berkesinambungan dan sistematis.
Langkah antisipasi tersebut juga didukung penuh oleh basis data dan informasi yang terintegrasi, mitigasi sumber cemaran potensial, serta penerapan efektivitas pengawasan melalui penerapan early warning dan zonasi pengelolaan kawasan.