Mediatani – Potensi limbah perikanan yang dihasilkan oleh industri pengolahan ternyata sangatlah besar. Pasalnya, proporsi limbah tersebut diperkirakan mencapai sekitar 30-40 persen dari total bobot ikan.
Untuk industri pengolahan ikan patin sendiri, produk fillet yang dihasilkan umunya sekitar 35 persen. Itu artinya, ada sekitar 65 persen hasil samping (limbah) yang belum dioptimalkan.
Limbah yang dihasilkan berupa kepala, tulang ekor, isi perut, daging belly, lemak abdomen, kulit dan hasil perapian (trimming). Semua bagian ikan patin ini bernilai jual rendah, bahkan kerap dibuang sehingga menurunkan kesehatan lingkungan.
Nilai ekonomi limbah tersebut bisa menjadi lebih baik jika dimanfaatkan dengan optimal. Sayangnya, pemanfaatan limbah perikanan yang memiliki potensi yang besar ini masih relatif kecil.
Oleh karena itu, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) sebagai unit eselon 1 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus melakukan berbagai upaya mengembangkan riset dan inovasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah perikanan.
Salah satunya yaitu ‘Pemanfaatan Hasil Samping Industri Pengolahan Ikan Patin sebagai Bahan Produk Pangan dan Non Pangan’. Program ini dikembangkan BRSDM melalui Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) sejak tahun 2021.
Plt. Kepala BRSDM, Kusdiantoro menjelaskan, hasil riset yang dilakukan oleh Tim Peneliti BBRP2BKP menunjukkan bahwa hasil samping tersebut mengandung lemak sekitar 30 persen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber potensial minyak ikan.
“Minyak ikan dari hasil samping pengolahan patin mengandung asam lemak Omega 3 (EPA, DHA, Linolenat) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan suplemen pangan dikarenakan kandungan asam lemak esensialnya yang sangat baik bagi kesehatan tubuh,” paparnya.
Lebih lanjut, Kusdiantoro menjelaskan, minyak ikan yang dihasilkan memiliki berbagai manfaat kesehatan diantaranya yaitu membantu memelihara kesehatan jantung, mencegah penyumbatan pembuluh darah, menjaga kesehatan kulit hingga mengurangi gejala depresi dan alergi.
“Selain itu, padatan yang tersisa dari ekstraksi minyak ikan patin juga dapat digunakan sebagai ingredient pakan setelah diproses menjadi tepung ikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala BBRP2BKP, Hedi Indra Januar menyampaikan bahwa pengetahuan tentang pengolahan limbah industri patin ini juga mendorong penerapan konsep ekonomi biru dalam proses produksi UKM sehingga dapat mengatasi masalah lingkungan.
Di lain sisi, inovasi ini juga meningkatkan pendapatan dari nilai tambah dari produk yang dihasilkan pengolahan limbah tersebut, dan sebagai koridor inisiasi untuk menjalankan program prioritas pengembangan kampung budidaya perikanan.
Peneliti BBRP2BKP, Ema Hastarini menjelaskan bahwa ekstrak minyak dari hasil samping pengolahan ikan patin ini mengandung profil asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh masing-masing sebesar 48,84 persen dan 51,16 persen serta membuatnya menjadi sumber energi dan asam lemak esensial yang cukup tinggi.
Sementara sumber protein dan asam amino yang dihasilkan dari tepung ikan memiliki kadar protein yang mencapai 40,90 persen hingga 74, 06 persen.
Teknologi hasil riset tersebut kini telah disebarkan kepada 30 UKM, pembudidaya, dosen Politeknik AUP Dumai, dan penyuluh Perikanan di Desa Koto Mesjid, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Sebagai informasi, Desa Koto Mesjid merupakan salah satu kampung budidaya ikan patin dengan kemampuan produksi yang bisa mencapai sekitar 360 hingga 400 ton per bulan.
Politeknik AUP Dumai juga telah memperoleh hasil riset berupa prototipe alat pengolahan minyak dan tepung ikan untuk mendukung teaching factory yang tengah dikembangkan oleh kampus tersebut agar dapat mencetak lulusan yang siap pakai dan berdaya saing di dunia kerja.