Mediatani – Ketua pelaksana tim penelitian dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI), Profesor Krismono menganggap ikan lokal sebagai warisan dunia yang rentan terluka bahkan mengalami kematian akibat kegiatan manusia.
Untuk itu, pada tahun 2010, dia bersama timnya berupaya melakukan misi penyelamatan di Poso, Sulawesi Tengah demi menjamin masa depan manusia yang tetap cerah. Salah satu ikan lokal yang menjadi perhatiannya adalah ikan sidat (Anguilla sp).
Selain bernilai ekonomi tinggi, ikan ini juga diklaim memiliki kandungan omega 3 tinggi yang baik untuk kesehatan. Harga ikan tersebut mencapai Rp 150.000 per kilogram di tingkat nelayan dengan pasar utama Jepang, Korea, dan China.
Meskipun Indonesia termasuk 10 besar negara produsen sidat di dunia, namun populasi ikan itu saat ini mulai terancam. Salah satunya terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Poso yang merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi sidat yang besar di Tanah Air.
Dalam upaya penyelamatannya, Krismono kerap terjun langsung ke lapangan. Dia melakukannya dengan menjelajahi muara Sungai Poso di Teluk Tomini hingga Danau Poso.
Perjalanan tersebut dilakukan berdasar cara hidup sidat sebagai ikan katadrom atau ikan yang hidup di perairan tawar dan pergi ke laut lepas untuk bertelur. Penjelajahan itu dilakukan pada malam hari karena sidat aktif bergerak hingga mencari makan di malam hari.
Dengan dibantu informasi warga setempat, tim peneliti menentukan empat lokasi pengambilan sampel sidat, yakni di muara Sungai Poso, kawasan Pandiri, Sulewana, dan Tentena (Danau Poso).
”Sampel diambil menggunakan alat tangkap bubu, pancing, hingga wayamassapi (alat tangkap tradisional berbentuk segitiga berbahan bambu),” kata Krismono dilansir dari Kompas, Jumat, (12/3).
Dari penelitiannya, diketahui bahwa banyak warga yang kerap menangkap sidat pada fase benih karena minimnya pengetahuan dari warga tersebut. Padahal, jika dibiarkan berkembang dalam beberapa waktu, bisa menjadi dewasa dan memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Selain itu, warga juga sering mengambil indukan sidat secara massif di Tentena. Kondisi tersebut memungkinkan migrasi yang dilakukan sidat untuk memijah di laut lepas menjadi terganggu.
”Padahal, waktu yang dibutuhkan benih sidat dari muara sungai hingga menjadi dewasa di danau bisa mencapai 12 tahun,” ujar Krismono.
Kondisi tersebut semakin parah dengan dibangunnya bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sulewana karena dapat mengganggu migrasi sidat, dimana banyak benih sidat mampu naik ke Danau Poso karena tertahan bendungan. Saringan pada bendungan tersebut juga membuat induk sulit menuju muara.
Solusi tim peneliti
Setelah penelitian berjalan dua tahun, akhirnya dapat ditemukan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Dimana warga di sekitar perlahan mulai mengurangi penangkapan benih dan indukan.
Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan aturan tentang kawasan konservasi ikan sidat untuk melindungi anakan dan indukan yang berada di kawasan Gua Boko dan Sungai Tomasa, yang alirannya airnya tidak melintasi bendungan.
Bahkan, penelitian ini juga telah melahirkan peraturan hukum, salah satunya berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2012 tentang Larangan Pengeluaran Benih Sidat (Anguilla sp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia.
Selain itu, lahir pula Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Sidat.
Krismono juga telah membuat berbagai inovasi yang dilakukan bersama peneliti lainnya. Untuk sidat, ia membuat teknologi jalur ikan yang diberi nama eelway bersama Yayuk Sugianti. Pda tahun 2012, inovasi tersebut telah diterapkan di PLTA Sulewana.
Eelway itu sendiri terdiri dari jalur yang berbentuk persegi panjang yang bagian alasnya diberi substrat kasar dan berserabut. Selain itu, juga terdapat kolam untuk benih sidat (glass eel) beristirahat.
Selanjutnya, ada juga tangki perangkap penampungan sementara benih sidat, dan tangki rilis untuk melepaskan benih tersebut ke perairan. Inovasi tersebut diharapkan mampu membantu benih sidat yang akan bermigrasi dari hilir hingga hulu.