Nelayan Boleh Pakai Cantrang Lagi

  • Bagikan
Kapal pengguna Cantrang.

Mediatani – Setelah beberapa waktu lalu polemik benih bening lobster (BBL) membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapat sorotan dari publik tanah air, kini giliran kebijakan penggunaan cantrang yang memasuki babak baru.

Sebelumnya, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap kembali mengizinkan penggunaan beberapa Alat Penangkapan Ikan (API) yang telah dilarang pada masa kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 71/2016.

Beleid baru tersebut merupakan Peraturan Menteri KP Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penempatan API dan APBI di WPPNRI dan Laut Lepas.  Aturan yang memberikan relaksasi terhadap penggunaan alat tangkap ikan ini pun kerap menuai kontroversi dari berbagai kalangan.

Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menjelaskan, di dalam Permen tersebut, ada beberapa aturan yang berubah. Diantaranya yaitu mengembalikan fungsi cantrang ke ketentuan semula. Pasalnya, sebelumnya cantrang tersebut kerap tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI).

Dalam sosialisasi dan diskusi publik yang digelar KKP, Jumat (22/1), Zaini menjelaskan bahwa aturan yang berubah dari Permen KP No.71/2016 ke Permen KP 59/2020 adalah perubahan peraturan alat penangkapan dan perubahan peraturan alat baku penangkapan ikan.

“Pengaturan alat penangkapan ikan yang sebelumnya dilarang sekarang kita berikan relaksasi dengan pembatasan,” ujar Zaini, Jumat (22/1).

Dalam aturan tersebut, KKP mengizinkan penggunaan cantrang dengan tetap memberlakukan sejumlah pembatasan dan mekanisme. Pertama, KKP tidak akan melakukan penambahan kapal cantrang baru atau hanya mengakomodir kapal yang sudah ada.

”Kapal baru tidak boleh, dari kapal non-cantrang yang mau berubah juga tidak boleh. Kapal cantrang yang sudah berubah jadi non-cantrang kemudian mau diubah lagi itu juga tidak boleh,” ujarnya.

Adapun jenis cantrang yang boleh digunakan, hanya jenis pukat tarik satu kapal. KKP tetap melarang penggunaan purse seine hingga pukat hela dua kapal.  Bagi kapal yang menggunakan alat tangkap kurang ramah lingkungan tersebut juga akan dikenakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar.

Menurutnya, kembali diperbolehkannya alat tangkap kontroversi ini karena banyaknya nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya di sana. Sementara alat tangkap yang lebih efisien belum tersedia untuk nelayan.

Saat ini nelayan yang tercatat menggunakan cantrang sebanyak 115 ribu orang. Jumlah tersebut pun bukan termasuk pemilik kapal.

Zaini menjelaskan, yang dianggap nelayan kecil bukan hanya mereka yang menggunakan kapal berukuran di bawah 5 GT, melainkan juga para nelayan yang menjadi buruh di kapal-kapal besar hingga 100 GT.

Aturan yang selama ini melarang penggunaan alat tangkap ini, membuat mereka sulit untuk menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan kapal-kapal cantrang tersebut. Terlebih, mereka harus menanggung biaya operasional selama berada di atas kapal.

“Oleh karenanya banyak nelayan buruh yang terlilit utang kepada pemilik kapal. Sehingga inilah yang menjadi konsen kita meningkatkan kesejahteraan nelayan buruh,” sambung Zaini.

Kontroversi

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti perubahan aturan KKP tersebut. Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati Permen menilai aturan yang mengeluarkan Cantrang dari kategori API itu mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana termaktub dalam pasal 36 permen tersebut.

Susan juga menilai ada sejumlah kejanggalan yang mengiringi perubahan aturan tersebut. Salah satunya yakni aturan pelegalan Cantrang yang mengesampingkan kajian ilmiah yang jelas dan tegas. Menurutnya, aturan tersebut bertentangan dengan kajian yang pernah dikeluarkan KKP sendiri soal cantrang pada tahun 2018 mengenai statistik sumber daya laut dan pesisir.

Dalam kajian tersebut, Cantrang disebut memiliki dampak negatif yang menimbulkan metode penangkapan ikan yang tidak efektif dan bersifat eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, memicu konflik sosial-ekonomi di kalangan nelayan.

Infografis Cantrang (KKP).

Kajian itu berisi sejumlah dampak penggunaan cantrang, mulai dari menimbulkan metode penangkapan yang tidak efektif dan ramah lingkungan, hingga menyebabkan terjadinya konflik horizontal di kalangan nelayan.

Hal lainnya yang disoroti oleh Kiara, yakni nelayan tradisional yang ditempatkan di zona 1 alias di wilayah laut 0-4 mil. Kebijakan tersebut mempersempit ruang gerak nelayan tradisional karena di ruang itu nelayan kecil harus bertarung dengan proyek reklamasi, tambang, pembuangan limbah dan sebagainya.

  • Bagikan