Penjelasan Ilmiah Mengapa Manusia Memilih Tak Mengonsumsi Hewan Peliharaan; Anjing atau Kucing

  • Bagikan
ILUSTRASI. Kucing hewan peliharaan/IST

Mediatani – Belakangan, kita dihebohkan dengan kasus jagal kucingdi Jalan Tangguk Bongkar 7, Kelurahan Tegal Sari Mandala, Kecamatan Medan Denai.

Kasus itu viral di media sosial usai seorang perempuan yang diduga pemilik seekor kucing di Medan kehilangan kucingnya dan saat menemukan, tubuh kucingnya sudah tidak utuh lagi.

Dilansir Senin (1/2/2021) dari situs berita Kompas.com, Pemilik akun @soniarizkikarai mengisahkan bahwa kucingnya hilang beberapa hari.  Lalu, dia mendapat informasi bahwa kucingnya dimasukkan karung goni oleh seseorang yang sering mengambil kucing untuk dibunuh lalu dijual dengan harga Rp 70.000 per kilogram.

Penjualan daging kucing itu pun dikabarkan untuk dimakan (konsumsi). Pemilik kucing juga sudah melaporkan kasusnya ke Polsek Medan Area pada Kamis (28/1/2021), lalu.

Jika ditelisik lebih jauh, ternyata, tindakan mengonsumsi hewan tak lazim seperti hewan peliharaan kucing ini juga pernah terjadi pada tahun 2019 lalu.

Masih dari sumber yang sama yang mengutip pemberitaan Kompas.com, Senin (29/7/2019), beredar di media sosial video seorang pria memakan kucing hidup-hidup.

Dalam video itu juga tampak laki-laki bertopi mengenakan kemeja cokelat dengan dalaman putih tengah memakan seekor kucing di tengah jalan.

Video itu pun menyebutkan keberadaan lokasi pria yang memakan kucing berada di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menjadi pertanyaan kemudia ialah, mengapa manusia bisa memutuskan untuk memakan (mengonsumsi) atau tidak boleh mengonsumsi jenis hewan tertentu dalam hidup?

Menanggapi persoalan ini, Psikolog Sosial asal Solo, Hening Widyastuti menuturkan, dikutip dari sumber yang sama, bahwa ada rasa di dalam diri manusia untuk mengasihi hewan baik peliharaan seperti ayam, burung, ikan, kucing, anjing, sapi, babi dan lain sebagainya.

Di antara hewan-hewan peliharaan itu, ada yang biasa untuk dikonsumsi harian atau hanya sekedar sebagai hewan peliharaan saja.

“Tidak semua hewan dapat dikonsumsi oleh manusia,” kata Hening kepada Kompas.com, Sabtu (30/1/2021) dikutip Senin (1/2/2021).

Hening menjelaskan, misalnya dalam agama Islam sendiri ada aturan jelas terkait mana jenis hewan yang boleh dikonsumsi oleh manusia dan hewan mana yang tak boleh dikonsumsi oleh manusia.

Dicontohkan Hening, seperti hewan babi, anjing, kucing, kekelawar, bangkai hewan dan beberapa hewan lainnya termasuk jenis yang tidak boleh atau haram untuk dikonsumsi oleh manusia.

Adapun larangan itu sesungguhnya bukan tanpa alasan.

Secara ilmiah, dikatakannya, hewan-hewan yang dilarang dikonsumsi oleh manusia memiliki zat tertentu yang kemudian bisa sangat membahayakan kesehatan manusia.

“Di Islam jelas ada yang boleh dan ada yang diharamkan. Ini sebenarnya berkaitan dengan penelitian ilmiah juga bahwa beberapa hewan yang tak boleh dimakan oleh manusia biasanya mengandung zat-zat tertentu yang sangat membahayakan manusia,” ujar dia.

Selain itu, kata dia, kucing dan juga anjing, ialah merupakan jenis hewan yang biasanya dipelihara dan tak untuk dikonsumsi harian layaknya ayam atau sapi.

“Bicara mengenai kucing dan anjing, mereka termasuk hewan yang dipelihara oleh manusia. Mereka bisa dijadikan teman bagi pemiliknya,” tutur Hening.

Sementara itu, memiliki hewan peliharaan jika dilihat dari sudut pandang psikologis bisa menentramkan jiwa mereka, menjadi teman dan hiburan tersendiri di kala si pemilik dalam kondisi jenuh dan penat.

“Memberi makan, memeriksa kesehatan, melihat mereka (hewan peliharaan) tumbuh dan berkembang dengan sehat tentunya menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pemiliknya,” terangnya.

Terutama lanjut dia, untuk orang yang memiliki rutinitas pekerjaan membuatnya menjadi jenuh. Maka, di saat menyaksikan pola tingkah lucu dari hewan peliharaan, bisa menghilangkan semua rasa penat dan jenuh dan berganti fresh dan bahagia.

Ada rasa kasih dan sayang yang tersampaikan dari pemiliki ke hewan peliharaan, dan energi itu dapat dirasakan oleh hewan peliharaan mereka.

Mengonsumsi hewan di negara Barat

Di negara Barat, mengonsumsi hewan sama halnya dengan yang disampaikan oleh Hening. Ternyata kucing dan anjing sendiri merupakan perantara untuk merasa terhubung dengan makhluk sosial lain yang sangat penting bagi manusia.

Dosen Psikologi Perkembangan di Universitas Terbuka, Dr Thalia Gjersoe, masih dikutip dari laman yang sama, mengatakan anjing sangat baik sebagai hewan peliharaan karena memiliki banyak keterampilan psikologis yang tak dimiliki hewan lainnya.

“Kami menganggap anjing memiliki pikiran yang sangat kompleks,” ujar Gjerseo dikutip Kompas.com yang mengutip dari BBC edisi (22/6/2015).

“Itulah kenapa pikiran memakannya (anjing) menjijikan, sama seperti kita menganggap makan salah satu teman kita itu menjijikkan,” kata Gjerseo.

Peran empati dan rasa jijik dalam keputusan memakan hewan

Pengalaman rasa jijik ialah mekanisme psikologis penting yang memengaruhi keputusan untuk memakan hewan tertentu.

Faktanya, rasa jijik dianggap sebagai salah satu emosi moral inti.

Menurut Dr Melanie Joy dalam bukunya berjudul Why we love dogs, eat pigs and wear cows (Mengapa kita mencintai anjing, makan babi dan memakai sapi) menuturkan, secara umum semakin empati yang Anda rasakan terhadap seekor hewan, maka semakin Anda jijik dengan gagasan memakannya.

Dalam ulasan Joy yang dimuat di Leiden Psycology itu menyebutkan bahwa rasa jijik dengan ide memakan anjing itu dikarenakan kebanyakan orang lebih berempati terhadap anjing, kucing daripada sapi.

Jadi, gagasan atau ide memakan anjing atau kucing itu lebih memuakkan.

Hipotesis bahwa empati memengaruhi pilihan makanan melalui rasa jijik ini didukung oleh bukti anekdot dan ilmiah dari vegetarian.

Seorang teman vegetarian pun mengatakan kepada Joy bahwa baginya, gagasan makan anjing sama menjijikkannya dengan makan sapi dan bahkan sama menjijikkannya dengan memakan daging manusia.

Peningkatan rasa jijik pada daging bagi vegetarian ini pula ditemukan dalam studi empiris. (*)

  • Bagikan