Sebelum Memutuskan Beternak Ayam Petelur, Ketahui Dulu Kendala-kendala Ini

  • Bagikan
Ilustrasi. Ayam Petelur/IST

Mediatani – Telur merupakan protein hewani yang menjadi kebutuhan utama sumber pangan masyarakat kita. Selain memiliki banyak manfaat bagi siapa saja yang mengonsumsinya, telur pun menjadi salah satu mesin penggerak ekonomi kerakyatan di berbagai daerah Indonesia, satu dari sekian banyak lokasi itu ialah Kabupaten Blitar.

Kendati demikian, di balik manfaat protein yang menyehatkan dari satu butir telur itu, nyatanya juga ada kerja keras dan pengorbanan yang tidak sedikit dari tangan-tangan para peternak ayam ini.

Sebagaimana mereka harus memastikan hasil produksi telurnya baik pula harga yang dijual pun sesuai. Jadi sebelum memutuskan beternak ayam petelur/layer pastikan anda tahu dan paham perihal tantangan berikut, yang mana diulas oleh seorang yang berpengalaman di bidangnya.

“Di dunia peternakan ini, udara, air, sama pakan, adalah tiga hal yang harus diperhatikan dalam beternak ayam. Sebab, efeknya akan ke (kuantitas) produksi telur,” ujar Peternak Ayam Layer Kurniawan Unggul Pambudi kepada detikcom beberapa waktu lalu dikutip mediatani.co, Selasa (23/2/2021).

Kurniawan sendiri merupakan salah satu peternak milenial generasi kedua asal Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Pria yang kini berusia 30 tahun ini setiap harinya mengurusi manajemen kandang termasuk juga perihal pakan ayam untuk 13.000 ekor ayam layer yang diternaknya.

“Belum lagi ada tambahan nutrisi untuk ayam, terus vaksin agar (ke 13.000 ekor ayam ini) bisa terus produksi telur dan terhindar dari penyakit. Sementara, pakan saja dalam satu bulan untuk perseribu ekor ayam bisa habis Rp 300 juta,” jelas dia.

Di samping itu, dalam tiap produksi telur ayam ini, gejolak harga pakan seperti jagung di pasaran kerap kali menghantui usahanya, terlebih ketika tahun 2017-2019 lalu, yang mana membuat dirinya tergabung dalam kelompok Koperasi Peternak Unggas Sejahtera (Putera) Blitar. Tujuannya, untuk mendapatkan subsidi demi kestabilan harga pakan.

“Saya daftar ke koperasi karena dibenturkan dengan harga jagung yang terus melambung tinggi sekitar Rp 6.000-an/kg dan harus adanya wadah atau organisasi membeli jagung subsidi pemerintah. Sebab, subsidi itu semuanya wajib untuk peternak dengan harga Rp 4.000 kala itu,” ungkapnya.

Ketua Koperasi Putera Blitar Sukarman (60) pun menceritakan bagaimana gejolak harga telur ketika saat itu. Tahun 2017, harga telur dari Blitar pernah anjlok cukup dalam hingga kisaran Rp 13.000/Kg, maraknya telur infertile saat itu dituding menjadi salah satu penyebab, yang mana gejolak ini menjadi cikal bakal terbentuknya koperasi.

“Jadi koperasi dibentuk pada tahun 2017 akhir, yaitu 30 November, yang mana saat itu terjadi harga telur murah, harga jagung mahal. Akhirnya kami difasilitasi oleh Pemerintah oleh Dinas Peternakan diundang dan terbentuklah Koperasi,” terangnya.

Pada kala itu, lanjut dia, banyak di antara peternak yang kemudian mengosongkan kandang lantaran tak menguntungkan dan tidak mampu lagi membeli pakan. Upaya itu dilakukan sebagai langkah untuk menghindari turunnya produksi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

“Karena kualitas telur yang sudah turun sulit dinaikkan kembali dalam waktu singkat,” ujar Sukarman.

Kemudian, setelah harga kembali normal, gejolak di kalangan peternak pun kembali terjadi pada akhir 2018. Persoalannya, sambung dia ialah bukan harga telur yang rendah.

Sebaliknya stok pakan jagung yang menjadi pakan utama selain konsentrat menjadi langka di pasaran. Para peternak pun kembali mencari solusinya dengan mendatangi pemerintah setempat.

Beruntung, hal ini kemudian membuahkan hasil, Pemkab Blitar sigap melakukan kerja sama dengan daerah penghasil jagung hingga membuat pemerintah pusat memberikan bantuan peralatan pengeringan jagung untuk menunjang kelancaran ketersedian pakan ayam ini.

Lebih jauh, ungkap Sukarman, pada 2020 lalu hingga sekarang ini, pandemi COVID-19 menghantam Indonesia membuat penyerapan telur ayam ikut terimbas. Adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta membuat daya konsumsi masyarakat juga turut berkurang.

“Karena banyak warung-warung dibatasi, toko-toko dibatasi, mal dibatasi, wisata juga dibatasi, otomatis penyerapan pun jadi berkurang,” jelas Sukarman.

Walau begitu, nasib baik juga pernah menimpa peternak. Adanya program Bansos saat itu hingga jelang tahun baru 2021 lalu sedikit banyaknya mampu mengangkat penyerapan telur di Kabupaten Blitar.

Meski hanya bersifat sementara, sebab Bansos yang tadinya berupa barang menjadi diuangkan karena sebuah kasus.

“Kami berusaha untuk mencari jalan keluar, namun penyerapannya berkurang, sehingga harganya turun 16.500. Padahal harga pakan naik, mula-mula Rp 5.300 sekarang menjadi Rp 6.300 pakan, sehingga seharusnya harga telur itu sekitar Rp 20.000 sampai Rp 21.000,” beber dia.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar Adi Andaka mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah usaha untuk membantu peternak.

Di antaranya menjadi fasilitator saat peternak dibelit persoalan, menjembatani penyediaan pakan, hingga pencarian pasar baru.

“Kami punya tanggung jawab moril untuk tetap mempertahankan telur-telur dari Blitar ini. Karena untuk berusaha di ayam petelur atau peternakan ini modalnya tak sedikit. Selain modal juga diperlukan keterampilan karena harus telaten, sabar, dan keberanian,” ungkap Adi.

Adi juga mengungkapkan apresiasinya terhadap semua pihak yang andil membantu produksi telur di Blitar. Salah satunya ialah Bank BRI yang memberikan bantuan bagi peternak ayam layer di Blitar mulai dari fasilitas aplikasi digital hingga KUR.

Sebagaimana diketahui Bank BRI menjadikan Blitar sebagai pilot project pengembangan aplikasi Pasar Mikro agar para peternak dapat merambah digitalisasi dalam proses transaksi jual beli telur ayam. Selain itu pihak BRI juga turut menyalurkan modal usaha kepada para peternak agar dapat melangsungkan usahanya. (*)

  • Bagikan