Sepertiga Lahan Pertanian Global Berisiko Tinggi Kena Polusi Pestisida

  • Bagikan
Penggunaan Pestisida
Farmer spraying pesticide

Mediatani – Nature Geoscience menerbitkan sebuah studi dan mengungkap bahwa sepertiga dari lahan pertanian global berisiko tinggi terkena polusi pestisida dan juga sisa bahan kimia lainnya. Terjadi lonjakan penggunaan pestisida secara global disebabkan karena produksi pertanian yang telah berkembang. Sehingga memicu kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan. Jika dibiarkan terus menerus, kemungkinan polusi juga bisa mengancam keanekaragaman hayati.

Dikutip dari Phys.org, pada Senin (5/4/2021) peneliti dari Australia memodelkan risiko polusi di 168 negara dengan data penggunaan 92 bahan aktif pestisida termasuk di dalamnya fungisida, herbisida, dan insektisida. Tingkat penggunaan pestisida sendiri diambil dari data Survei Geologi Amerika Serikat dan informasi berbasis negara dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.

Kemudian, peneliti lalu memasukan data tersebut ke dalam model matematika dan menggunakannya untuk memperkirakan potensi tersisanya residu pestisida di lingkungan. Suatu daerah dianggap berisiko tinggi jika residu (dari setidaknya satu bahan pestisida) diperkirakan seribu kali lebih besar dibanding konsentrasi yang tidak akan menghasilkan efek apa pun.

“Semakin tinggi skor risikonya maka semakin tinggi kemungkinan spesies non-target mengalami efek,” ungkap Fiona Tang dari University of Sydney’s School of Civil Engineering.

Dari analisis yang didapat, peneliti kemudian menemukan adanya risiko polusi pestisida global yang mulai meluas. Pada studinya, peneliti menuliskan bahwa terdapat sekitar 24,5 juta km persegi atau sekitar 64 persen lahan pertanian global memiliki risiko terkena polusi pestisida dari lebih dari satu bahan aktif. Sedangkan 31 persen masuk dalam kategori berisiko tinggi.

Ditemukan laporan bahwa yang memiliki luas daratan terbesar dengan berisiko tinggi yakni 4,9 juta kilometer adalah Asia. Salah satunya yaitu China yang menyumbang 2,9 juta kilometer persegi. Selain itu, wilayah lain yang juga masuk kategori risiko tinggi terhadap pencemaran pestisida adalah Spanyol, Rusia dan Ukraina dengan besaran hampir 62 persen dari lahan pertanian Eropa (2,3 juta kilometer persegi).

Selain itu, peneliti juga terfokus pada beberapa ekosistem yang sangat rentan terkena dampak polusi tinggi dari pestisida, namun memiliki kelangkaan air dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem rentan yang dimaksud adalah Afrika Selatan, Australia, Argentina, China dan India.

“Hal ini sangat penting sebab potensi terkait pencemaran tersebar luas dan beberapa daerah juga berisiko, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan mengalami kelangkaan air,” papar Tang.

Lebih lanjut, menurutnya, ada beberapa faktor yang menjadikan suatu wilayah sebagai titik kontaminasi yang potensial, salah satunya adalah penggunaan pestisida dalam jumlah yang berlebihan ataupun mengandung zat beracun. Selain itu, adapula faktor lingkungan yang juga bisa memperlambat terjadinya pemecahan pestisida menjadi zat tidak beracun, yaitu karbon tanah yang rendah dan suhu dingin.

Curah hujan yang tinggi juga bisa menyebabkan tingkat aliran pestisida meningkat. Meski tak berdampak langsung pada kesehatan manusia tetapi peneliti mengungkapkan bahwa larutnya pestisida ke dalam air yang kemudian digunakan untuk minum bisa memunculkan risiko lain yang berbahaya.

Peneliti pun meminta analisis lebih besar terhadap kontaminasi sungai, muara, dan danau. Selain itu, tim peneliti juga menyarankan strategi global untuk transisi menuju pertanian berkelanjutan yang melibatkan penggunaan minim pestisida dan pengurangan limbah makanan.

Pada tahun 2019, Global Environment Outlook (GEO) PBB menggalakkan tentang penggunaan pestisida agar segera diminimalisir. Produksi pangan bukan hanya menjadi pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati. Produksi pangan juga menjadi pencemar utama udara, air tawar dan air laut, terutama ketika pertanian sangat bergantung terhadap pupuk kimia dan pestisida.

  • Bagikan