Teknik Daisugi, Cara Menanam Pohon di Lahan Sempit dari Negeri Sakura

  • Bagikan

Mediatani – Jepang memang adalah salah satu negara yang memiliki lahan terbatas. Namun, negeri sakura ini tak pernah kehabisan ide untuk mengatasi keterbatasan itu.

Jika untuk mengantisipasi kerugian akibat gempa, mereka membangun rumah berbahan kayu. Sementara untuk menyiasati keterbatasan lahan, mereka menggunakan teknik daisugi.

Seperti diketahui Daisugi adalah teknik kehutanan unik yang dikembangkan di Jepang sejak berabad-abad lamanya. Tujuannya adalah membudidayakan pohon cedar jenis Kitayama tanpa menggunakan banyak lahan. Cedar Kitayama sendiri dihargai tinggi karena memiliki batang lurus sempurna tanpa cabang.

Sekarang, teknik yang mencolok secara visual ini dapat disaksikan di taman hias. Karena permintaan tinggi dan kurangnya lahan lurus untuk menanam maka pasokan pohon Kitayama jadi tidak tersedia.

Mirip dengan seni bonsai yang terkenal di Jepang, Daisugi pada dasarnya melibatkan pemangkasan dahan pohon cedar induk sehingga hanya tunas paling lurus yang boleh tumbuh. Pemangkasan itu dilakukan dengan hati-hati setiap beberapa tahun.

Proses ini hanya menyisakan dahan atas dan memastikan bahwa tunas tetap bebas simpul. Setelah sekitar 20 tahun, tunas besar yang sekarang dapat dipanen sebagai kayu Kitayama yang luar biasa, ditanam kembali untuk mengisi kembali hutan.

Meskipun dua dekade tampak seperti waktu yang lama, tetapi pohon cedar yang ditanam daisugi sebenarnya tumbuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam di tanah.

Melansir dari Oddity Central, Jumat (14/10/2020), tidak hanya itu, teknik kehutanan yang cerdik ini juga menghasilkan kayu Kitayama yang 140 persen fleksibel seperti cedar biasa, serta 200 persen lebat dan kuat.

Daisugi dikembangkan pada abad ke-14, pada masa Sukiya-Zukuri yang merupakan gaya arsitektur yang bercirikan penggunaan bahan-bahan alami, khususnya kayu. Batang kayu Kitayama yang lurus dan bebas simpul digunakan sebagai pilar di rumah-rumah Sukiya-Zukuri.

Akan tetapi, tidak ada cukup lahan untuk menanam pohon-pohon ini. Dan untuk untuk memenuhi permintaan, maka lahirlah teknik daisugi. Teknik kehutanan Jepang kuno itu menjadi viral baru-baru ini.

Kini stok pohon Kitayama dapat mendukung lusinan tunas lurus sekaligus, dan dapat digunakan hingga 200 – 300 tahun, sebelum menjadi usang. “Pohon induk” ini masih bisa ditemukan di daerah tertentu di Jepang, dan beberapa diantaranya memiliki batang dengan diameter sekitar 15 meter.

Secara tradisional, potongan kayu yang halus dan sangat rapi secara estetika digunakan sebagai pilar utama untuk ceruk yang disebut tokonoma. Pertama kali muncul pada abad ke-15 selama periode Muromachi, ceruk ini digunakan untuk memajang barang-barang artistik seperti ikebana atau gulungan.

Mereka juga tampil menonjol di rumah teh Kyoto dan disebutkan bahwa hal itu merupakan permintaan dari ahli teh terkemuka Kyoto, Sen-no-rikyu, seorang yang yang menuntut kesempurnaan dalam penggunaan kayu cedar Kitayama selama abad ke-16.

Seiring berkembangnya zaman, teknik ini sudah mulai tersisihkan oleh metode penanaman lain yang jauh lebih modern dan efisien. Namun teknik daisugi masih kerap digunakan untuk taman-taman tradisional Jepang.

  • Bagikan