Garam Mahal, Ikan Asin Tidak Lagi Asing

  • Bagikan
ilustrasi petani garam

Mediatani.co  – Mahalnya harga garam di pasaran menyebabkan sebagian besar perajin ikan asin di Desa Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah berhenti berproduksi.

Jumlah perajin ikan asin di Desa Kubu semulai mencapai ratusan, namun jumlahnya kini berkurang lebih dari setengahnya. Kepala Desa Kubu, Jarmani mengatakan banyak perajin ikan asin berhenti beroperasi karena garam mahal. Harga garam sebelumnya Rp100 ribu per sak, kini melonjak hingga Rp200 ribu per sak ukuran 50 kilogram.

“Para nelayan itu hampir 50-60 persen sudah tidak bekerja lagi menjadi pengumpul atau pembuat ikan asin. Harga garam di sini diperkirakan sudah hampir Rp2 ribu per kilo. Semula harganya Rp100 ribu saja per sak isi 50 kilogram. Sekarang hargana sudah mencapai Rp200 sampai Rp210 ribu per sak,” kata Jarmani, Jumat (25/8/2017).

Mahalnya harga garam juga berpengaruh pada kondisi perekonomian nelayan. Sebab mereka tidak bisa lagi menyuplai ikan bete-bete yang menjadi bahan baku ikan asin kepada para perajin.

Dampak dari mahalnya harga garam bukan hanya dirasakan para perajin ikan asin di Desa Kubu, Teluk Bogam dan Keraya, Kecamatan Kumai. Tapi juga di sentra ikan asin Kabupaten Kotawaringin Barat di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan.

Jika kenaikan harga garam disesali perajin ikan asin di Kalimantan Tengah berkurang, di Aceh kondisi ini justru dianggap membawa berkah bagi para perajin atau petani garam.

Warga petani garam di Kabupaten Aceh Utara diperkirakan akan terus bertambah seiring makin tingginya harga garam. Kenaikan harga garam justru membawa berkah bagi kelangsungan perekonomian warga pesisir setempat.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Utara, Jafar Ibrahim mengatakan, kenaikan harga garam di pasaran berdampak positif terhadap pelaku dunia usaha. Terlebih, permintaan terhadap bahan baku tersebut begitu tinggi.

“Menurut saya ini sebenarnya bukan krisis garam. Harga garam kan sesuai modal. Kalau biayanya tinggi tentu secara otomatis harga jualnya tinggi. Tapi secara kasat mata bisnis garam menggiurkan. Istilahnya harga jual dan produskinya bagus,” kata Jafar kepada KBR, Selasa (22/8/2017).

Jafar mengatakan saat ini banyak warga di Aceh Utara yang memilih profesi menjadi petani garam ketimbang bekerja di tempat lain. Menurut Jafar, fenomena ini dinilainya berdampak positif dalam mengatasi kelangkaan garam yang kerap terjadi setiap tahunnya.

“Bisnis garam ini menggiurkan, modal besar dengan keuntungan yang fantastis. Sudah beberapa kelompok tani yang mengusulkan binaan untuk program garam pada tahun ini,” kata Jafar.

Secara keseluruhan luas lahan potensi garam di Aceh Utara mencapai 177 hektare dari luas lahan produksi mencapai 14,61 hektare. Total petani garam berjumlah 280 orang.

Namun produksi garam di Aceh Utara rata-rata setiap tahun hanya 27,5 persen dari kapasitas produksi. Sedangkan, konsumsi bahan dapur itu mencakup seluruh penduduk di Aceh Utara mencapai 600 ribu orang.

Hampir sebagian besar petani garam di Aceh Utara itu masih pola tradisonal. Selain berprofesi tani garam juga memiliki usaha lain, seperti berdagang, bertani ke sawah dan kebun maupun buruh bangunan.

Masyarakat tani garam di wilayah itu tersebar di delapan kecamatan, meliputi Tanah Jambo Aye, Lapang, Tanah Pasir, Dewantara, Muara Batu, Syamtalira Bayu, Seunuddon, dan Samudera. Harga garam di tingkat petani garam bervariasi dari Rp2.500 hingga Rp4.000 per kilogram.

Sumber : tempo.co

  • Bagikan