Mediatani – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada jajaran menterinya agar tidak bergantung pada impor. Presiden ingin agar mereka fokus pada upaya peningkatan produksi sebagai solusi dalam waktu dekat serta pengendalian harga pangan dan minyak dalam jangka waktu pendek.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar sekaligus pakar pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa menilai ada kontradiksi antara program pemerintah dengan realisasinya. Ada delapan komoditas pangan utama yang mengalami kenaikan kuota impor.
“Dari berapa juta ton impornya di tahun 2008 ke 2018 itu impornya hampir 20 juta ton. Kita lihat saja data impor pangan dalam 10 tahun terakhir saja lonjakannya sangat tinggi. Nah 2021 malah lebih tinggi lagi kalau tidak salah ada 27 juta ton ya itu ada, gandum beras jagung kedelai kemudian bawang putih tebu, ubi kayu,” terang Andreas, Rabu (22/6/2022).
Selain itu, Andreas mengatakan, produksi kedelai di Indonesia mengalami penurunan. Dimana data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi hanya mencapai 210.000 ton. Sementara konsumsi kedelai terus mengalami peningkatan.
“Kan jadinya diatasi dengan impor, pada tahun 2021 impor kedelai kita mencapai 7,9 juta ton,” ungkapnya.
Kemudian, pada 2022, harga kedelai di tingkat petani juga terlihat belum mencapai nilai yang sepadan, sehingga menyebabkan para petani memilih beralih pada komoditas lain.
Berdasarkan kajian yang dilakukan pada 2022, terdapat perbedaan antara besaran harga kedelai di tingkat petani dengan impor, dimana di tingkat petani harga kedelai cenderung lebih mahal ketimbang harga kedelai impor.
“Kalau impor itu harganya Rp1500 per kilogram, sedangkan kedelai petani harganya Rp2500 per kilogram,” tambahnya.
Menurutnya, hal itu menyebabkan harga kedelai di tingkat petani mengalami penekanan, sehingga menyebabkan petani memilih beralih ke komoditas lain.
Selain kedelai, komoditas lain seperti bawang putih lebih dipilih oleh pemerintah untuk diimpor ketimbang mengupayakan produksinya di dalam negeri. Ini disebabkan karena harga bawang putih impor lebih murah dan melimpah.
Menurut Andreas, sebagai negara yang masih berkembang, inflasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh pangan. Sehingga untuk menekan inflasi tersebut, pemerintah akhirnya memilih jalur impor.
“Inflasi terbesar seperti negara-negara berkembang seperti Indonesia itu kan disebabkan oleh pangan. Karena takut itu, jadi sebagai upaya untuk menekan inflasi ya sudah akhirnya impor kan,” bebernya.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap petani lokal membuat petani tanah air harus bersaing langsung dengan para petani di negara lain yang mumpuni secara alat, modal hingga produk bibit.
“Petani kita diharapkan langsung dengan petani dari negara maju yang dari sisi kapasitasnya saja sudah sangat beda. Ada subsidi dari pemerintah yang diberikan pelatihan dan didorong ekspor. Jadi harganya pas sampai Indonesia itu lebih murah. Ini yang harus dijaga kesejahteraan petani Indonesia,” imbuhnya.