Keran Impor Tak Terkendali, Petani Garam Kian Menderita

  • Bagikan

Mediatani – Banyaknya perusahaan garam di Kabupaten Gresik yang melakukan impor garam membuat petani garam di Kecamatan Roomo, Gresik mengaku resah karena garam produksi mereka tidak terserap.

Menurut pengakuan salah satu Pengurus Asosiasi Persatuan Petani Garam Kabupaten Gresik, Suri, memasuki masa panen raya harga garam semakin murah saja, saat ini harga di petani garam berkisar Rp 250- Rp 300 per kg. Hal tersebut membuat petani garam pantura semakin menderita.

“Yang digarap di roomo 25 hektare. Yang tidak digarap kurang lebih 40 hektare,” katanya. Sabtu (29/8/2020).

Anjloknya harga garam membuat banyak petani yang terpaksa mogok kerja, lahannya tidak digarap. Tidak adanya kontrol pemerintah terhadap impor garam yang terjadi terpaksa membuat petani kehilangan harapan untuk mendapat harga yang layak.

“Harga yang layak menurut perhitungan petani Rp 700- Rp 800 per kg. Dengan harga segitu petani masih sepadan dengan kerjaannya.  Belum lagi jika harga murah seperti ini banyak anak-anak bangsa dari petani menunda untuk sekolah karena biaya,” keluhnya.

Suri menilai, pemerintah gagal dalam mengeluarkan kebijakan sehingga dampaknya sangat besar terhadap petani garam lokal.

“Jika alasan pemerintah adalah kualitas garam lokal rendah, harusnya dari pemerintah menyediakan pelatihan agar petani lokal dapat menghasilkan garam berkualitas tinggi,” geramnya.

Selain mengontrol impor garam, Suri juga berharap kepada pemerintah untuk membuat adanya inovasi dan konsistensi dalam meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan.

Komisi IV Desak Pemerintah Turun Tangan

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin meminta pemerintah untuk turun tangan memberikan perhatian pada petani garam yang mulai mengeluh akibat garamnya tidak terserap.

Banyak yang harus diperbaiki di lapangan terkait masalah garam ini, mulai tidak terserapnya garam rakyat hingga garam impor yang seharusnya untuk industri diperdagangkan untuk konsumsi.

“Meski pemerintah belum mengizinkan impor, tapi di lapangan sudah tampak jelas, bahwa garam impor marak. Pemusnahan 2,5 ton garam himalaya tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) ini baru yang kelihatan, yang tidak kelihatan lebih banyak,” ujar Andi Akmal.

Andi Akmal mengkritisi bahwa tidak  terserapnya garam rakyat itu disebabkan stok impor garam masih banyak. Padahal pemerintah belum pernah menerbitkan izin impor garam tertentu yang marak di pasar dan sebagian telah dimusnahkan.

Sebelumnya, Akmal telah mengingatkan kepada pemerintah untuk membangun sistem produksi garam yang berkualitas. Bahan baku yang melimpah di Indonesia merupakan potensi besar untuk mengembangkan garam dengan kualitas industri maupun konsumsi.

Saat ini, para pengusaha makanan minuman (mamin) memilih membeli garam impor karena kualitasnya lebih bagus dan harganya lebih murah.

Dia berharap, kedepannya pemerintah mampu menciptakan sektor produksi garam yang memenuhi kebutuhan Nasional. Menurutnya, mengambil (menyerap) garam rakyat akan menjadi mudah ketika sistem industri garam sudah maju.

“Bukan saja memenuhi kebutuhan nasional, potensi Ekspor garam juga menjadi besar dan ini bila tidak menjadi perhatian khusus, sampe berpuluh tahun kedepan kita tidak akan ada kemajuan pada industri garam ini,” ujar Akmal.

  • Bagikan