Mediatani – Beberapa waktu lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan menambah dua kapal armada pengawas perikanan dengan tipe kapal cepat untuk menjaga kedaulatan di laut Selat Malaka dan laut Natuna Utara.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, penambahan kapal tersebut merupakan strategi penting dalam menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan serta memberantas pencurian ikan di laut Indonesia.
Tanggapan dari organisasi masyarakat
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menuturkan, efektivitas kapal pengawas yang ada hingga kini belum terlihat. Menurutnya, ketika masyarakat mengadu dan membutuhkan, selalu muncul alasan klasik yaitu kehabisan bahan bakar.
“Kita masih banyak menemukan laporan, misal, nelayan-nelayan Aceh melaut dikejar kapal penjaga laut dari India, belum lagi nelayan-nelayan Natuna dan lain-lain,” katanya, dilansir dari Mongabay, (16/3).
Meski dilakukan penambahan dua kapal pengawas berkecepatan tinggi, atau upaya penenggelaman kapal asing di perairan Indonesia, menurutnya, hal tersebut kontradiktif dengan aturan yang telah mereka buat.
Ia menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, izin kapal asing untuk melaut di perairan Indonesia menjadi terbuka. Selain itu, aturan tersebut berpotensi membuat adanya kegiatan ekspor kekayaaan laut Indonesia secara langsung di tengah laut, dalam artian rentan terjadi penyelundupan.
UU Cipta Kerja, tambahnya, telah membuat kapal ilegal makin berani untuk berasi, dimana sanksi pelaku pelanggaran dalam UU ini hanya sebatas administrasi, padahal dulu sanksinya adalah pidana.
“Selama ini denda dan hukuman pun tidak sesuai, apalagi sekarang hanya hukuman administratif, jadi ngaco ini (kalau bilang tambah kapal pengawas) untuk perlindungan laut,” tuturnya.
Menurutnya, adanya penambahan kapal pengawas maupun penenggelaman kapal asing, hanya sebatas seremonial dan gimmick. Daripada luncurkan kapal baru, tambahnya, lebih baik melakukan evaluasi terhadap kapal pengawas yang ada, sudah seberapa efektif selama ini.
Susan mengatakan upaya pengawasan kelautan yang dilakukan KKP juga terlihat mundur setelah tidak ada kejelasan Satuan Tugas Pengawas Pencuri Ikan 115 karena sebelumnya telah dianggap menghabiskan anggaran oleh bekas Menteri KKP Edy Prabowo.
“Semua tidak terlihat serius, seolah seperti gimmick, seperti pemadam kebakaran, sebatas memadamkan, ada kasus baru ramai, upaya konkrit tidak ada,”ujarnya.
Susan meminta, pihak Pemerintah dalam hal ini KKP harus memiliki peta jalan perikanan nasional. Dengan begitu, katanya, kegiatan yang dilakukan tak berbasis kepada menteri yang menjabat, tetapi ada skema yang hendak didorong, missal hingga 10 tahun ke depan.
Menurutnya, kelemahan yang ada selama ini muncul karena politik Indonesia bobrok dan menyebabkan sumber daya alam tereksploitasi, dimana semua aturan terus berubah-ubah, tergantung siapa pemenang pemilu.
Nasib nelayan tradisional
Adanya penambahan kapal pengawas berkecepatan tinggi juga menimbulkan kekhawatiran bagi nelayan tradisional di Natuna karena menganggap kehadiran mereka tak mengawasi serius kapal asing justru ‘menjaga’ kapal cantrang yang melaut di Natuna dari ‘gangguan’ kapal nelayan tradisional.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri mengatakan bahwa pihaknya setuju dengan adanya pengawasan kapal ikan asing atau pelanggaran hukum perikanan yang lain. Terlebih, jika pusat pengawasan berada di Natuna, bukan lagi di Batam.
Namun, dia mengaku khawatir kapal pengawas tersebut bertujuan untuk mengawasi gerak kapal tradisional melaut di perairan Natuna. Pasalnya, kata Hendri, Kementerian Politik Hukum dan HAM telah meneken nota kesepahaman dengan belasan instansi lain, antara lain mengatur tentang kelompok cantrang yang melaut di Natuna agar dikawal oleh satu kapal pengawas.
“Kalau untuk mengawal kapal cantrang melaut di Natuna kami sangat tidak mendukung,” kata Hendri.
Selain itu, tambahnya, kapal nelayan tradisional diawasi oleh kapal patroli agar tidak melaut di atas 12 mil sebagaimana diatur dalam Permen KP No 59/2020 yang ditolak oleh Nelayan tradisional Natuna. Karena selama ini, nelayan tradisional sekitar Natuna itu melaut lebih 12 mil.
Harapan Hendri, daripada KKP menghabiskan anggaran untuk menambah armada kapal dengan kecepatan tinggi, lebih baik memenuhi bahan bakar untuk kapal pengawas yang sudah ada. Selama ini, katanya, patroli yang dilakukan tak maksimal karena alasan kehabisan bahan bakar.
“Logikanya seperti ini, kalau kapal makin cepat otomatis bahan bakar makin banyak. Lah, selama ini alasan jarang patroli karena kekurangan bahan bakar, sekarang makin dibuat boros lagi, jadi jangan sampai kapal pengawas akhirnya disandarkan juga di pelabuhan, karena kehabisan bahan bakar,” kata Hendri.
Lebih baik lagi, tambahnya, jika kapal nelayan tradisional diberdayakan disbanding menambah armada kapal pengawas, karena hampir setiap melaut nelayan tersebut menjaga laut perbatasan dan berhadapan dengan kapal asing.
“Ini malahan kapal pemodal besar (cantrang) yang disuruh mengawasi kapal asing, teorinya saja kapal cantrang melaut hanya di bagian pinggir,” kata Hendri.