Makanan Siap Saji Bisa Mengandung Bakteri Staphylococcus Aureus, Ini Risikonya

  • Bagikan
Ilustrasi: bentuk bakteri

Mediatani – Pakar Keamanan Pangan IPB University Harsi D. Kusumaningrum mengungkapkan, makanan siap saji yang proses pengolahannya tidak higienis berisiko mengandung bakteri Staphylococcus Aureus. Untuk itu ia meminta meminta masyarakat untuk mewaspadai risiko bakteri tersebut.

“Staphylococcus Aureus tersebut adalah salah satu bakteri yang dapat menghasilkan toksin sehingga menyebabkan keracunan pangan,” ujar Harsi dilansir dari SariAgri, Sabtu (29/5).

Ia menjelaskan bahwa ada beragam jenis pengolahan pangan siap saji serta bahan baku yang digunakan. Selain harus memperhatikan keamanan dan kualitas bahan baku, pelaku usaha juga harus menerapkan praktik higiene personal dan memberlakukan proses pengolahan yang baik sesuai dengan lima kunci utama World Health Organization (WHO) dalam keamanan pangan.

Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan dalam pengolahan pangan siap saji, namun masih banyak pelaku usaha yang menerapkan prosedur pengolahan dengan cara yang sembarang.

Pengolahan pangan yang dilakukan secara sembarang atau tidak higienis berisiko menimbulkan gangguan kesehatan akibat adanya cemaran atau kontaminasi yang dihasilkan selama prosesnya.

“Apa yang terjadi bila misalnya jumlah mikrobanya demikian banyak, itu salah satunya dapat menyebabkan keracunan pangan dan infeksi pangan,” ungkapnya.

Lebih lanjut dosen Fakultas Teknologi Pertanian IPB University itu menjelaskan bahwa Staphylococcus Aureus akan tumbuh secara optimal pada produk pangan yang disimpan dalam suhu 6-48 derajat celsius dengan pH netral atau sedikit asam.

Toksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut berjenis enterotoksin. Bakteri jenis ini biasanya ditemukan pada pangan olahan daging, telur, susu, olahan tuna dan sebagainya.

Bakteri tersebut masih sulit dimusnahkan pada pangan olahan karena tidak semua produk yang dihasilkan melalui proses sterilisasi. Maka, wajar saja bila masih terdapat banyak laporan tentang kasus keracunan pangan, terutama pangan olahan rumah tangga seperti nasi bungkus.

Ia beserta timnya juga telah melakukan kajian dan investigasi penyebaran S. Aureus pada pangan siap saji pada 2009 lalu. Investigasi yang dilakukan yaitu mengkaji proses penanganan pangan oleh pengolah, mengidentifikasi S. Aureus pada sampel pangan, mengidentifikasi S. Aureus pada pengolah dan konsumen, serta mengkuantifikasi penyebaran S. Aureus di udara.

Dari kajian dan investigasi yang dilakukan, ditemukan sebanyak 36 persen sampel pangan siap saji yang positif mengandung S. Aureus. Selain itu, juga ditemukan 8 persen pengolah makanan yang tidak menggunakan alat bantu atau langsung dengan tangan. Lama penyimpanan di suhu ruang sebelum dikonsumsi masih ada yang lebih dari batas ketentuan, yaitu dua jam.

“Hal lain yang perlu diperhatikan dalam higienis personal adalah potensi kontaminasi silang. Sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan bakteri atau mikroorganisme dari pengolah pangan atau dari lingkungan sekitar pengolahan,” ungkapnya.

Menurut WHO, dua jam merupakan batas aman untuk menyimpan pangan siap saji. Namun tak sedikit pelaku usaha yang masih menyimpan pangan di suhu ruang lebih dari dua jam.

Padahal, perkembangbiakan bakteri tergolong pesat, dimana mereka dapat membelah diri setiap 12 hingga 20 menit. Dengan kecepatan tersebut, satu sel bakteri mampu menghasilkan jutaan sel dalam sehari.

“Rekontaminasi S. Aureus dapat mudah disebarkan melalui udara, yakni bila pengolah pangan berbicara di depan makanan,” kata dia.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kontaminasi mikroba pangan siap saji, diantaranya dengan melakukan penyuluhan berkelanjutan, pelibatan masyarakat termasuk media massa, pengawasan berkelanjutan, serta evaluasi kinerja.

Upaya tindak lanjut tersebut pada umumnya telah dilakukan secara rutin setiap tahunnya, namun kasus keracunan pangan masih saja terjadi di beberapa daerah.

“Jadi apa yang salah? Sebenarnya apakah ada yang kurang? Apakah ada perubahan dan permasalahan yang baru? Yang perlu juga diperhatikan adalah kesadaran terhadap keamanan pangan, apakah sudah benar. Perubahan sikap ataupun awareness tersebut yang harus diperhatikan,” kata dia.

  • Bagikan