Pakar Sarankan Pemerintah Manfaatkan Lahan Pulau Terluar untuk Tingkatkan Populasi Sapi

  • Bagikan
Foto: Antara/Anis Efizudin/IST

Mediatani – Pemerintah diharapkan harus bisa mengantisipasi dan mencegah lonjakan harga daging sapi. Sejumlah langkah pun harus dilakukan agar pasokan daging sapi dapat terpenuhi, sehingga tak menyebabkan gejolak harga di pasaran.

Mengutip, Rabu (24/3/2021) dari laman situs fin.co.id, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf meminta agar pemerintah memanfaatkan berbagai celah untuk mengamankan pasokan daging sapi. Dia menyebut, salah satu cara yang paling baik adalah memanfaatkan lahan kosong.

Dicontohkannya, banyak lahan kosong, seperti di pulau terluar, lahan bekas tambang, ataupun lahan pada industri perkebunan seperti food estate sangat berpotensi menjadi alternatif peningkatan pasokan daging dalam negeri. Sehingga dapat meningkatkan populasi ternak sapi dan kerbau sebagai upaya meningkatkan cadangan pangan protein hewani Indonesia.

“Lahan pascatambang belum termanfaatkan untuk pengembangan peternakan, pulau-pulau kosong belum termanfaatkan,” kata Rochadi dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Meat & Livestock Australia (MLA), Senin (22/3), lalu.

Menurut Rochadi, dalam meningkatkan populasi ternak sapi dan kerbau di pulau terluar, faktanya hanya dilepasliarkan saja. Dan jumlahnya akan bertambah secara alami dalam dua hingga tiga tahun.

Dia juga membeberkan, ada penelitian yang dilakukan oleh Unpad di Pulau Moa Maluku pada 2007 hingga 2011. Dalam penelitian itu ditemukan populasi kerbau Moa meningkat 20,84 persen secara alamiah.

Dengan data koefisian tersebut, potensi peningkatan populasi dari tahun 2012 ke 2017 bisa menghasilkan 25.313 ekor. “Data penelitian tersebut masih sangat relevan digunakan saat ini,” ungkap dia.

Disampaikannya juga, sebaiknya program food estate yang tengah dikembangkan pemerintah saat ini juga mengikutsertakan industri peternakan berdampingan dengan industri perkebunan. Hingga saat ini 98 persen populasi sapi di Indonesia berada di peternakan rakyat sementara 2 persen sisanya ada pada korporasi.

Peternakan rakyat tidak beternak sapi untuk produksi daging melainkan sebagai simpanan untuk dijual apabila pemiliknya membutuhkan uang.

Peternak rakyat kerap mengembangbiakkan sapi hingga beranak-pinak untuk dijual kembali apabila sudah dewasa. Dia menyarankan pemerintah untuk mengarahkan peternak rakyat fokus pada program penggemukan sapi karena memiliki nilai komersial yang lebih tinggi.

Sementara itu untuk program pengembangbiakan, ditangani oleh korporasi dalam skala industri peternakan besar dengan insentif sesuai undang-undang bahwa pembibitan adalah tugas pemerintah.

Sebelumnya, Rochadi juga menilai upaya swasembada sapi yang diusahakan pemerintah sejak lama hingga kini belum membuahkan hasil. Sementara, kemampuan pertumbuhan produksi semakin kalah cepat dibanding peningkatan konsumsi. Pada akhirnya fokus pemerintah dalam pengembangan sapi nasional dipertanyakan.

Dikutip, Selasa (23/3/2021) dari situs republika.co.id, Rocahdi mengatakan bahwa pertumbuhan konsumsi dan produksi daging sapi berdasarkan tren data Badan Pusat Statistik dan Qasa menunjukkan kesenjangan. Konsumsi mengalami peertumbuhan hingga 6,4 persen sementara produksi hanya mampu tumbuh 1,30 persen.

Di samping itu, upaya swasembada sudah dimulai pemerintah sejak 1995 silam namun tak pernah membuahkan hasil. “Kebijakan swasembada tidak pernah terealisasi, jadi mau ke mana? Kalau saya teliti ya itu inkonsistensi kebijakan dengan keinginan pemerintah yang ingin dicapai,” kata Rochadi dalam webinar Meat & Livestock Australia, Senin (22/3), Dikutip, Selasa (23/3/2021) dari situs republika.co.id.

Untuk memenuhi kebutuhan, importasi menjadi pilihan pemerintah. Salah satunya lewat impor sapi bakalan Australia. Kerja sama antara Indonesia dan Australia sudah terjadi sejak 30 tahun lalu.

Rochadi menjelaskan bahwa Indonesia dan Australia memiliki keunggulan komparatif. Di mana, usaha pembiakan sapi di Australia sangat efisien tetapi mahal dalam hal penggemukan.

Sebaliknya, penggemukan sapi di Indonesia jauh lebih murah dari Australia. Menurutnya, keunggulan itu seharusnya lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi industri sapi nasional. Baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)

  • Bagikan