Peringati World Environmental Day, Tiga Guru Besar IPB Berikan Catatan Kritis

  • Bagikan
Sumber foto: https://bogor.inews.id

Mediatani – Hari ini, dunia tengah memperingati 50 tahun Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environmental Day) sejak ditetapkannya oleh PBB pada 5 Juni 1872. Adapun tema yang diusung kali ini yaitu “Only One Earth”

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB University mengadakan diskusi bareng awak media di Taman Koleksi Kawasan Kampus IPB University Baranangsiang Kota Bogor pada Sabtu (4/6/2022).

Dalam acara disuksi tersebut, turut hadir tiga pakar lingkungan yang sekaligus merupakan guru besar IPB University, masing-masing di antaranya Prof. Hadi S. Alikodra, Prof. Damayanti Buchori dan Prof. Hadi Susilo Arifin.

Selama disuksi, berkembang catatan kritis dari para pakar terkait fenomena lingkungan hidup yang tidak hanya di dunia, namun juga di Indonesia.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Hadi S. Alikodra memperingatkan bahaya yang saat ini sedang mengancam bumi yaitu pemanasan global (global warming)

“Bumi tengah mengalami over heated, menyebabkan semakin masifnya dampak global warming terhadap berbagai aspek kehidupan manusia sehingga semakin mengancam keberlanjutan pembangunan,” ungkap Prof. Hadi.

Lebih lanjut, Prof. Hadi menyampaikan bahwa pemanasan global menjadi fokus perhatian seluruh bangsa di dunia tak terkecuali di Indonesia, dikarenakan akan semakin mengancam keberlangsungan biodiversitas (biodiversity).

Ia mengatakan, sebagai negara tropis yang kaya akan biodiversitas, Indonesia harus dapat mempertahankan dan memanfaatkannya secara bijak melalui bioprospeksi.

“Global Warming semakin mengancam keberlanjutan biodiversity yang menjadi tumpuan masa depan kehidupan manusia dan keberlanjutan pembangunan. Indonesia yang merupakan negara tropis kaya biodiversity harus mampu mempertahankan dan memanfaatkannya secara bijak melalui bioprospeksi,” jelas Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University ini.

Ia juga menambahkan, perlu dilakukannya sejumlah upaya strategis konservasi yang meliputi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan bumi secara bijak demi menyelamatkan bumi yang kian kritis.

“Penyelamatan bumi yang kian kritis ini, berbagai negara harus melakukan strategi konservasi tak terkecuali Indonesia, meliputi perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan bumi secara bijak,” ungkapnya.

Menurutnya, kegiatan penyelamatan lingkungan dengan cara tersebut cukup berhasil. Hingga saat ini Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi seluas 27 juta hektar. Namun stragegi pemanfaatannya harus mengalami perubahan melalui eco-innovation.

Di lain sisi, Prof. Damayanti Buchori mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan lebih ditikberatkan pada aspek kehilangan biodiversitas (biodiversity loss) yang kian meningkat.

Menurut Prof. Damayanti, hilangnya keberadaan hewan penyerbuk (burung, lebah, kelelawar dan serangga-serangga lainnya) dapat berdampak pada katahanan pengan. Sebagai catatan, lebih dari 50 persen tanaman pangan diserbuki oleh hewan penyerbuk.

Lebih jauh ia menerangkan, adanya fakta penurunan populasi lebah di negara Eropa dan Amerika yang dikenal dengan Global Pollinator Decline.

Sementara itu di Indonesia, meledaknya hama belalang kembara di Sumda Timur, yang menurut Prof. Damayanti menjadi salah satu fenomena pertanda kerusakan lingkungan.

Ia mengatakan, ledakan hama terebut telah merusakkan tanaman yang ada di Sumba Timur dan mulai bergerak menuju Sumbah Tengah hingga Sumba Barat Daya.

“Dugaan tejadinya fenomena ledakan (biodiversity loss-red) ini karena perubahan iklim dan perubahan ekosistem di kawasan tersebut,” ungkap Prof. Damayanti.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu adanya political will dan kemauan dalam menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) sebagai upaya emgatasi destruktifikasi lingkungan.

“Political will ini harus hadir di berbagai institusi dan kelembagaan tanpa kecuali. Lebih jauh kita perlu membangun kerjasama multilateral dan solidaritas global yang inklusif agar mampu menavigasi kompleksitas masalah.

Secara individu, tambah Prof Damayanti, kita harus mau dan mampu hidup sakmadya (secukupnya-red), karena akar masalah kerusakan di bumi adalah keserakahan. Pesan pesan leluhur perlu dihayati dalam menjalankan nilai nilai kehidupan yang arif dan adil.

Terakhir, Prof. Hadi Susilo Arifin menegaskan akan pentingya peran untuk melindungi dalam arti memproteksi dan mengonservasi dalam arti melestarikan diversitas sumberdaya alam di bumi, baik flora maupun fauna.

Menurutnya, sumberdaya alam dalam bentuk tata tanah, tata air, dan tata udara merupakan ekosistem yang harus dijaga, dikelola, dilestarikan atau direstorasi bila terjadi gangguan dan kerusakan.

“Semuanya ditujukan bagi keberlanjutan segala kehidupan di muka bumi, manusia, flora fauna hingga jasad renik baik di daratan, lautan maupun di udara,” tambahnya.

  • Bagikan