Petani Rumput Laut di Nusa Penida Dihantui Hama dan Fluktuasi Harga

  • Bagikan

Mediatani – Pasca sektor pariwisata di kecamatan Nusa Penida dihantam pandemi Covid-19, kini para pelaku industri pariwisata di daerah tersebut banyak yang memilih kembali membudidayakan rumput laut.

Akan tetapi langkah itu juga ternyata menemui banyak kendala yang bahkan tidak kunjung menemukan solusi. Masalah itu diantaranya yakni adanya serangan hama dan fluktuasi harga.

Hal tersebut juga disampaikan oleh Komang Tiyas (44) salah seorang petani rumput laut yang berasal dari Banjar Nyuh Kukuh, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida.

Tiyas mengungkapkan bahwa setelah pandemi Covid-9 melanda dan membuat industri pariwisata terpuruk, termasuk di Nusa Penida. Banyak pelaku pariwisata di daerah tersebut yang memilih untuk beralih profesi untuk memperbaiki kondisi ekonominya.

Sebagian besar dari mereka memilih beralih ke budidaya rumput laut seperti yang juga dia lakukan. Sebelum menjadi petani rumput laut, Tiyas mengaku telah 20 tahun lamanya bekerja di industri pariwisata.

“Dan, baru enam bulan ini saya menggeluti budidaya rumput laut,” ungkapnya.

Menurut Tiyas, menggeluti budidaya rumput laut bukanlah hal yang mudah. Ia mengaku telah mengeluarkan Rp 15 juta untuk digunakan sebagai modal awal, baik untuk membeli bibit dan sarana penunjang budidaya lainnya.

Karena baru enam bulan terjun ke dunia rumput laut, harapan untuk mendapat kembali modalnya tampak masih jauh. Terlebih, hasil panen rumput laut di tempatnya masih kurang maksimal akibat adanya gangguan hama yang membuat pertumbuhan rumput lautnya kurang baik.

“Rumput laut itu biasanya dipanen 30 hari sekali. Karena gangguan hama, hasil panen kadang dapat Rp 300 ribu, pernah Rp 900 ribu. Tidak tentu,” ujarnya.

Selain karena adanya hama, lanjut Tiyas, fluktuasi harga jual rumput laut juga menjadi kendala dalam budidaya rumput laut. Seperti yang terjadi pada jenis spinosum, yang biasanya dalam keadaan kering dihargai Rp 7 ribu per kg namun sering anjlok menjadi Rp 4 ribu per kg.

“Yang harganya bagus itu rumput laut jenis cattoni, yakni Rp 14 ribu per kg. Hanya saja tidak dapat berkembang di tempat kami. Biasanya jenis rumput laut itu bisa dikembangkan di perairan Lembongan,” tandasnya.

Menanggapi kondisi tersebut, Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya untuk menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan rumput laut untuk bisa menangani permasalahan budaya rumput laut di Nusa Penida diri hulu hingga ke hilir.

“Saya juga berharap agar perusahaan yang mengolah rumput laut mentah bisa mendirikan pabrik di Nusa Penida untuk memberikan manfaat mutualisme antara perusahaan dan petani,” tandasnya.

Budidaya rumput laut di Nusa Penida

Rumput laut memang merupakan salah satu sisi berbeda yang bisa terlihat saat berwisata di Nusa Penida. Masyarakat setempat telah mengembang biakkan rumput laut sejak tahun 90 an.

Sebelumnya, masyarakat di daerah tersebut berprofesi sebagai petani di ladang menanam palawija, namun mereka beralih menjadi petani rumput laut karena pada belakangan ini rumput laut nusa penida mempunyai nilai ekonomis yang tinggi untuk komoditas ekspor.

Lahan budidaya rumput laut mulai dialih fungsikan

Perkembangan pariwisata di Nusa penida yang semakin pesat membuat nasib dari para petani menjadi tidak menentu karena lahan yang digunakan untuk budidaya rumput laut sudah banyak dialih fungsikan sebagai tempat bersandarnya kapal kapal.

Kapal-kapal yang berlabuh tersebut merupakan kapal yang mengantar para wisatawan dan juga pihak hotel yang mengklaim dan mematok pantai tersebut untuk wahana hiburan tamu yang menginap di hotel seperti berenang atau juga watersport di Nusa Penida.

  • Bagikan