Mediatani – Rencana penambangan pasir laut yang dilakukan di berbagai daerah telah membuat berbagai pihak yang peduli tehadap lingkungan menyoroti hal tersebut.
Pasalnya, kegiatan yang merusak lingkungan hidup di wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ini juga berkibat pada kerusakan ekosistem hayati dan non hayati, yang selanjutnya membuat masyarakat setempat mengalami kerugian dan penderitaan.
Dilansir dari Kumparan, adapun kasus-kasus yang pernah terjadi seperti hilangnya pulau-pulau di perairan Batam (2004), rusaknya pantai serta hilangnya pencaharian nelayan di Perairan Teluk Banten merupakan dampak dari kegiatan penambangan pasir oleh PT Jetstar di Tj Pontang (2004), dan kekeruhan perairan akibat dredging (kapal keruk) pasir laut.
Seharusnya, kegiatan yang mengeksploitasi pasir laut untuk dijadikan sumberdaya potensi investasi itu terlebih dulu dilakukan pengkajian yang mendalam terkait risiko. Selain itu, juga dilakukan upaya-upaya mitigasi bencana terhadap dampak fisik, dan lingkungan harus disiapkan.
Karena pada kenyataannya, dampak dan risiko dari kegiatan penambangan pasir laut tersebut tidak kecil terhadap kawasan dan masyarakat sekitar. Ada berbagai potensi risiko yang penulis catat dan potensial terjadi saat penambangan pasir laut ini dijadikan agenda percepatan ekonomi perikanan dan kelautan.
Berikut 6 risiko yang dapat terjadi akibat aktivitas penambangan pasir laut itu, yakni:
1. Kerusakan dan penurunan daya dukung ekosistem terumbu karang, lamun dan lainnya
Pada umumnya, kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang disebabkan karena aktifitas manusia (anthropogenic stress on coral reef) seperti kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak, bahan kimia (potassium cyanida), penangkapan ikan dengan jaring jodang dan jaring bloon (semacam pukat harimau).
Selanjutnya, penangkapan ikan hias, kegiatan industri di pesisir, kegiatan pelabuhan, penambangan pasir, pengambilan karang, kegiatan wisata seperti pelepasan jangkar sembarangan dan penyelaman dan snorkling dengan cara yang tidak benar.
Aktivitas penambangan pasir dilaut dapat mengakibatkan kematian karang karena terjadi peningkatan kekeruhan perairan. Perairan yang menjadi keruh akan membuat polip karang tertutup, sehingga sulit melakukan fotosintesis yang merupakan rangkaian dari proses hidup karang.
Hal itulah yang juga mengakibatkan kematian terumbu karang baik yang berada disekitar GAK dan Pulau Sabesi. Meskipun kematian karang tidak terjadi seketika saat penambangan, namun dalam kurun waktu tertentu karang akan mengalami pemutihan (bleaching).
Terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tidak mampu lagi menghasilkan oksigen yang dibutuhkan biota ikan dan biota lainnya.
2. Kerusakan dan penurunan kualitas habitat hutan mangrove
Hutan mangrove dapat mengalami kerusakan karena mendapat tekanan dari aktivitas manusia seperti penebangan pohon bakau, konversi lahan, penambangan batu dan pasir, reklamasi, dan berbagai kegiatan industri.
Penambangan batu dan pasir secara tidak langsung merusak ekosistem hutan bakau melalui perubahan pola hidrodinamika laut yang membuat timbulnya abrasi dan akresi. Abrasi merupakan fenomena tergerusnya bagian daerah pantai akibat pengaruh dari perubahan arus menyusur pantai (longshore current).
Sedangkan akresi yaitu proses pembentukan area baru karena proses bahan tersedimen yang terdapat di daerah pantai yang lainnya mengalami pengendapan. Daerah mangrove yang mengalami perubahan pola arus menyusur pantainya (longshore current) akan membuatnya sulit untuk tumbuh, bahkan yang sudah tumbuh menjadi rusak.
Rusaknya ekosistem hutan bakau dapat mengakibatkan turunnya potensi perikanan karena hilangnya tempat pemijahan (spawning ground), tempat pemeliharaan larva (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground).
3. Kerusakan dan penurunan habitat padang lamun
Lamun yang mengalami kerusakan berkorelasi dengan kerusakan habitat pesisir seperti habitat terumbu karang dan hutan bakau. Kerusakan ekosistem padang lamun ini bisa disebabkan karena penurunan kualitas lingkungan, reklamasi, eksploitasi di perairan pantai.
Air yang tercemar atau mengalami kekeruhan karena proses pengambilan pasir (dreging) akan mengganggu pertumbuhan dan produktifitas lamun. Selain sebagai area nursery ground, lamun juga merupakan daerah spawning ground.
Dalam jumlah tertentu, lamun berperan sebagai perangkap sediment (traping sedimen), tapi dampak yang berlebih tidak akan dapat di toleransi oleh lamun, sehingga menyebabkan kematian lamun.
4. Gangguan dan penurunan biota perairan
Menurunnya biota perairan merupakan dampak selanjutnya dari penurunan kualitas lingkungan dan kerusakan habitat seperti terumbu karang, padang lamun, hutan bakau, dan daerah aliran sungai. Kerusakan yang terjadi pada kawasan konservasi juga akan mempengaruhi populasi biota air dan burung yang dilindungi.
5. Gangguan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Gangguan daerah aliran air (DAS) terjadi karena adanya degradasi wilayah hulu seperti menurunnya kualitas air (pencemaran), sedimentasi, dan penggundulan hutan.
Kualitas air yang mengalami penurunan disebabkan oleh kegiatan industri, penambangan pasir diatas bukit dan limbah domestik yang membuang limbahnya seperti logam berat, organik dan bahan kimia lainnya.
Terjadinya sedimentasi akan meningkatkan run off di daerah hulu, yang kemudian dapat membuat debit air menjadi berkurang dan semakin mempercepat pendangkalan.
6. Gangguan dan kerusakan ekosistem dan biota di kawasan konservasi
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab permasalahan terhadap kawasan konservasi, yakni penggalian pasir, kegiatan industri, pelabuhan yang berada di kawasan konservasi.
Selain memberi dampak yang bersifat mikro, juga menghasilkan dampak makro seperti pengaruh terhadap alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI). Saat dilakukan reklamasi Teluk Jakarta, sebagian besar daerah pengerukan pasir laut yang direncanakan adalah sekitar daerah ALKI selat Sunda.
Daerah tersebut juga merupakan tempat pemasangan kabel laut, pipa GAS dan jalur lainya. Masalah keamanan pada jalur pelayaran, segala kegiatan yang ada juga di harus diketahui untuk mencegah terjadinya resiko dari kegiatan tersebut.
Penulis: Yon Yonvitner