Kekeringan Melanda, Potensi Kerugian Capai Rp 3 Triliun

  • Bagikan
ilustrasi sawah kering (foto: ayocirebon)

Mediatani – Iklim dan cuaca yang beragam menjadi keunggulan yang dimiliki Indonesia. Berbagai jenis tumbuhan tumbur subur di nusantara karena kekayaan unsur hara dalam tanah  dan keragaman cuacanya. Kendati demikian, mesti diantisipasi ancaman kekeringan karena musim kemarau yang melanda sejumlah daerah yang bisa berimbas pada produktivitas pertanian kita.

Badan Meterorologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa puncak musim kemarau di Indonesia akan terjadi pada bulan Agustus 2019 dan dipediksi akan lebih kering dibanding sebelumnya.

“Beberapa daerah di negara kita juga sudah mengelami keadaan 21 hari tanpa hujan, ini berarti statusnya masih waspada,” kata Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang dikutip dari siaran pers dari laman setkab.go.id pada Selasa 16 Juli 2019. Beberapa daerah yang terdampak kemarau berkepanjangan itu antara lainP Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga Nusa Tenggara Timur.

Terpantau, setidaknya 27.997 KK di Jawa Barat kekurangan air bersih akibat kemarau tahun 2019 ini. Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Jawa Barat, Budiman Wahyu, mengatakan bahwa kemarau ini juga berdampak pada 14.440 hektar lahan pertanian mengalami kekeringan. Selain itu, setidaknya ada 12 kabupaten/kota di Jawa Barat yang terdampak, kata Budi, dikutip dari Antara (15/7).

Kemarau kali ini juga dirasakan dampaknya oleh petani di Desa Sumberejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Akibat kemarau ini, saluran irigasi yang mengairi ratusan hektar lahan pertanian mengering, dan menyebabkan tanaman padi puso dan petani gagal panen. “Dalam beberapa hari tidak teraliri air, padi langsung mengering. Kalau sudah seperti itu, jelas tidak panen,” ucap Isnan (52), salah seorang petani di desa ini.

Salah satu komoditas tanaman yang dibudidayakan ketika kemarau hanya palawija. Meskipun tetap membutuhkan air, tapi jumlahnya tidak sebanyak yang dibutuhkan tanaman lain. Petani juga harus membuat sumur di sawah agar bisa menanam palawija.

Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi di Yogyakarta. Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan (DP3) Kabupaten Sleman mencatat setidaknya terdapat 148 hektare sawah yang terdampak kekeringan di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, mengalami puso akibat musim kemarau. Hal ini juga mengancam 50 hektare lainnya di Kecamatan Kalasan.

“Sebanyak 143 hektare lahan yang puso itu mayoritas ditanami padi gogo. Jika mengacu pola tanam tahun lalu, saat itu, meski kemarau, masih ada huja. Sedangkan kemarau tahun ini kering tidak ada hujan,” ucap Kepala DP3 Sleman, Heru Saptono pada 15/7.

Langkah antisipasi yang disiapkan oleh DP3 Sleman adalah membantu pompa air bagi petani untuk mengantisipasi kebutuhan air pada musim kemarau. “Kami meminta kepada para petani agar menanam komoditas yang tidak membuthkan banyak air seperti palawija atau sayur mayur.

Musim kemarau yang terjadi juga dirasakan oleh 4500 kepala keluarga (KK) di Kabupaten Buleleng dan Karangasem, Bali. Warga kesulitasn mendapatkan air bersih dan diprediksi akan berlanjut hingga Agustus mendatang.

“Faktor pertama karena Bali salah satu provinsi yang mengalami hari tanpa hujan terlama di Indonesia. Ini sudah memasuki hari ke-91, BMKG memrediksi sampai Agustus mendatang,” terang Kalaksa BPBD Bali, Made Rantin, pada Senin 15/7 lalu.

Untuk menekan dampak kekeringan tersebut, BPBD Bali telah memberi suplai air ke desa-desa. Total sebanyak 85 ribu liter air telah didistribusikan sejak awal Juli lalu.

Dampak kekeringan yang hampir merata di Pulau Jawa ini salah satunya berpengaruh pada melonjaknya harga cabai di Pasar Induk Kramat Jati. Berdasarkan penuturan pedagang, stok cabai yang mereka dapatkan di sentra-sentra produksi cabai di Jawa mulai berkurang.

Salah seorang pedagang, Hj. Tiwi, kepada Gatra.com menuturkan bahwa pada kondisi normal, 40 truk mengantar cabai setiap hari ke Pasar Induk. Tapi, saat ini hanya ada sekitar 20 truk pengangkut cabai yang datang ke pasar induk.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, mengatakan, lahan pertanian seluas 3,7 juta hektare berpotensi terdampak kekeringan selama bulan September hingga Oktober mendatang.

Akibatnya, kondisi itu berpotensi menimbulkan kerugian sebesar Rp 3 Triliun, “tapi kalau kita bisa bantu dengan hujan buatan sehingga bisa meminimalisasi kerugiannya, bisa mencegah kerugian hingga Rp 2,4 Triliun,” kata Eko Putro Sandjojo di kantor kepresidenan, Jakarta.

//Reporter: Muh Dhiaurrahman

  • Bagikan