Mediatani – Di balik pekerjaan guru yang mulia dan berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Ada satu fakta yang nampaknya sudah berlarut-larut hanyut di dalam negara kita, bahwa gaji guru di Indonesia dalam hal ini gaji guru honorer amatlah kecil, bahkan tidak sampai gaji UMR.
Seorang guru honorer SMAN 2 Borong Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Damianus Hambur (32), harus menjual sayur dan beternak babi untuk menambahkan penghasilannya. Hal itu dilakukannya untuk mencukupi tuntutan biaya dan ekonomi keluarganya yang tidak cukup.
“Kurang lebih 2 tahun mengajar saya mencoba untuk membuka lapak sayur. Saya berpikir bahwa tuntutan biaya dan ekonomi keluarga tidak cukup dari penghasilan uang honorer yang diterima dari sekolah,” kata Hambur, dilansir dari Kompas. com, Jumat, (14/8/2020).
Oleh karena itu, lanjut Hambur, ia mencoba membuat tempat jualan di depan rumah orangtua dan juga membuka usaha kios kecil-kecilan. Ia membuat tempat jualan sayur di Kampung Peot, Kelurahan Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Hambur merasa, sebagai anak laki-laki pertama, dirinya masih mempunyai tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang masih Sekolah. Dengan modal nekat, ia pun berjualan sayur pada sore hari setelah selesai mengajar.
“Dalam budaya orang Manggarai, sebagai anak laki-laki pertama tentunya saya punya tanggung jawab sekaligus kemudian nanti akan menjadi pengganti orangtua,” kata dia.
Meskipun telah Lima tahun sudah mengajar dan mendidik serta menyandang profesi guru, ia sama sekali tidak merasa gengsi untuk mencari penghasilan tambahan. Tugas utama di sekolah tetap dilaksanakan dengan baik.
“Bagi saya, seorang sarjana tidak perlu harus gengsi dalam kehidupan bermasyarakat. Pekerjaan apa saja yang penting bisa menghasilkan uang,” ujar dia.
Di lapaknya itu, ia menyiapkan aneka sayuran, seperti kangkung, daun singkong, kol, sawi, dan bayam. Selain itu ada juga tersedia bawang, lombok, dan tomat.
Dari penghasilan jual sayurnya itu, ia akhirnya mampu memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya dan membantu adiknya yang masih sekolah.
Akan tetapi usahanya itu ternyata tidak berjalan begitu mudah. Selain harus pandai membagi waktu untuk mempersiapkan pelajaran di sekolahnya, ia juga harus mencari cara untuk menyiasati sayurannya yang tak laku dijual.
Ia kemudian mulai beternak babi. Sayuran yang membusuk itu disiasatinya dengan menjadikannya pakan babi. Ia membeli 2 ekor babi betina. Dalam setahun babinya bisa beranak 2 kali, dan setiap kali beranak bisa mencapai 10 ekor.
Dari penghasilan menjual babinya itu, ia bisa mendapat sekitar Rp 16 juta-Rp 18 juta per tiga bulan. Babi bisa dijual dengan harga Rp 1 juta per ekor setelah umur 3 bulan. Sedangkan hasil jual sayur setiap harinya bisa sampai Rp 500.000-Rp 700.000.
Usaha kecil yang digeluti oleh Hambur ini juga tidak luput dari cibiran dan sindiran warga sekitar tempat tinggalnya. Namun Hambur tidak ambil pusing dengan komentar miring tersebut
“Cibiran dan keraguan dari orang-orang menjadikan saya termotivasi untuk bekerja keras,” tambah dia.
Hambur mengatakan, ketertarikannya membuka usaha sayur dan ternak babi dengan maksud bagaimana mengubah mindset atau pola pikir para pemuda dan orangtua. Dan juga sebagai edukasi masyarakat bahwa seorang sarjana juga bisa kerja serabutan untuk memperoleh penghasilan tambahan.
“Saya tidak gengsi atau malu dengan menjual sayur, buka kios dan ternak babi demi menambah penghasilan. Saya mendapatkan penghasilan tambahan dengan kerja keras,” ujar dia.
Hambur menyebut, seiring berjalannya waktu, orang di sekitarnya pun mulai ikut menjual sayur di halaman rumah mereka. Ia pun mengaku senang dengan hal itu.