Petani Cilamaya Gunakan Pupuk Organik, Hemat Biaya Produksi Hingga 50 Persen

  • Bagikan
Pendampingan pelatihan pembuatan pupuk organik ke kelompok tani di Cilamaya, Jabar, sebagai bagian CSR Pertagas.

Mediatani – Masa pandemi Covid-19 memberi dampak buruk terhadap kondisi perekonomian masyarakat, khususnya petani. Belum lagi dengan adanya ancaman resesi yang akan membuat daya beli mereka menurun sementara harga barang mengalami kenaikan. Kondisi tersebut membuat petani harus mencari cara untuk menyiasati kebutuhan produksi sawah yang begitu mahal.

Seperti yang dilakukan oleh sekelompok petani padi di Cilamaya, Jawa Barat, mereka membangun asa dengan memproduksi pupuk organik untuk memangkas biaya produksi. Dibina oleh Pertagas, mereka membentuk kelompok tani Gapoktan Saluyu, memproduksi pupuk organik granule dan cair untuk lahan sawahnya.

Aep Endang Sudrajat, Ketua Gapoktan Saluyu, ia meceritakan kisah kelompok taninya saat Zoom meeting yang diadakan oleh Pertagas, beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan bahwa dengan menggunakan pupuk organik tersebut, ia dapat menghemat hingga 50 persen biaya produksi.

“Dengan program tanam padi sehat ini, biaya produksi tidak bengkak. Jika tidak pakai pupuk organik, satu hektar sawah butuh biaya Rp 10 juta-Rp 11 juta. Tapi kalau pakai pupuk organik hanya Rp 5,5 juta-Rp 6 juta. Hasil padinya sekitar 6,2 ton rata-rata, sementara yang pakai pupuk kimia malah hanya 5 ton rata-rata,” katanya, dilansir dari Kompas, Kamis, (01/10/2020).

Ia bercerita, selama ini besarnya pengeluaran untuk pupuk kimia lantaran tanah pertanian jadi kurang subur jika terus menerus diberi pupuk kimia sehingga petani harus menambah biaya untuk mengurangi hama. Jika menggunakan pupuk organik, walaupun kondisi sering hujan seperti tahun lalu pun, panen tetap bagus. Selain itu, pekerjaan menjadi ringan karena tidak terlalu banyak melakukan penyemprotan.

“Karena keberhasilan itu, banyak petani yang mau ikut gabung ke Gapoktan Saluyu lantaran pendapatan petani lebih tinggi. Target kami musim panen tahun depan bisa sampai 7 ton per hektar,” lanjutnya.

Gapoktan Saluyu sendiri sudah berdiri sejak 2002 dan beranggotakan 374 petani. Awalnya, Gapoktan ini membawahi 7 kelompok tani, yang masing-masing menyetor lahan 1 hektar untuk jadi percobaan. Untuk saat ini, jumlah lahan percobaan sudah bertambah jadi 14 hektar. Targetnya, tiap kelompok tani bisa menggunakan pupuk organik untuk 4 hektar lahannya.

Kelompok tani ini mengaku secara bertahap diberi binaan untuk mengurangi pupuk kimia sejak awal 2019. Awalnya, pupuk kimia dikurangi 50 persen, kini hingga 85 persen.

Akan tetapi usaha tersebut juga ternyata tidak berjalan begitu mulus, kebutuhan pembelian bahan baku kotoran sapi agak tersendat dan harganya naik akibat pandemi. Aep menjelaskan, dari petani masih bisa memproduksi 1-2 ton kotoran ternak, tapi masih kurang sekitar 14 ton lagi, yang biasanya dibeli dari Bekasi. Pandemi juga berdampak pada harga jual beras petani yang terus turun.

“Hasil panen karena adanya Covid-19 harga yang tadinya rata-rata di atas Rp 5.000-an per kg, kini di kisaran Rp 4.700-Rp 4.800 per kg,” katanya.

Selain itu, kesulitan lain yang dihadapinya saat panen hingga pemasaran hasil panen, apalagi saat PSBB berlangsung. Fitri Erika, Corporate Secretary Pertagas, membenarkan kondisi tersebut. Menurut dia, program CSR di tengah pandemi pun jadi harus ikut menyesuaikan dengan protokol kesehatan.

“Di masa pandemi Gapoktan Cilamaya sempat panen. Saat itu kami jaga petani dengan memakai masker dan social distancing,” ujar Erika, saat Zoom meeting.

Zainal Abidin, Manajer Comrel dan CSR Pertagas menambahkan, selama pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi pihaknya untuk melakukan pendampingan langsung ke warga. Pasalnya, kondisi pandemi ini mrupakan kondisi yang tidak biasa. Akibatnya, harus dilakukan pemetaan sosial untuk kegiatan CSR pada 2020.

“Selama pandemi ada yang kami hold, ada yang tetap jalan, tapi ada juga yang harus disesuaikan dan ditunda,” katanya.

  • Bagikan