Seni Menikmati Kopi Ponorogo di Tengah Sawah yang Dibayar dengan Gabah

  • Bagikan
Suraji Pedagang Kopi Ethek yang menjajakan daganganya di sawah. Uniknya dia hanya ingin dibayar dengan gabah kering petani/via Prokal.co/IST

Mediatani – Sudah menjadi lazim bahwa alat transaksi saat ini ialah uang. Orang menggunakan alat ini sebagai alat tukar untuk memperoleh barang yang satu dengan barang lainnya menggunakan uang.

Namun, tidak dengan penjual kopi keliling atau lebih dikenal kopi ethek yang ada di Desa Pijeran, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, ini.

Melansir, Jumat (19/3/2021) dari situs jatimnet.com, Suraji pedagang kopi dengan memikul barang dagangannya, menjualnya dengan berkeliling dari satu sawah ke sawah lainnya. Uniknya, Suraji ternyata hanya mau dibayar menggunakan gabah.

Hal ini terjadi karena penjual kopi ethek hanya ada saat panen padi berlangsung di desa tersebut. Suraji pun mengaku dirinya telah menjual kopi ethek lebih dari 10 tahun belakangan.

Selama itu pula, Suraji selalu bertransaksi secara barter dengan hasil panen padi, yakni berupa gabah. Besaran gabah yang diberikan pun terserah pemilik lahan.

“Saya tidak mematok harus berapa kilo, semua tergantung pemilik lahan dan orang yang ada di sawah mau memberikan gabah seberapa,” kata Suraji, Rabu 17 Maret 2021, dikutip mediatani.co, Jumat (19/3/2021).

Selain menjajakan kopi, dirinya pula menawarkan beberapa minuman lain seperti teh dan susu panas. Tak sampai di situ, jajanan berupa gorengan seperti pisang goreng, gandos, ketela goreng selalu ia bawa karena memang menjadi favorit para pemanen padi.

Sedangkan air panas yang digunakannya, telah ia masukkan ke dalam kotak besi yang selalu dipanasi menggunakan kayu bakar.

Kakek dengan tiga cucu ini menuturkan bahwa jika sekali jalan ia mampu menjual 50 gelas minuman dan puluhan gorengan selalu habis saat ia pulang ke rumah.

Sementara itu, hasil barter gabah yang ia peroleh tak menentu, namun rata-rata dalam sehari ia mampu mendapatkan 40 sampai 60 kilo gabah dari hasil ia berkeliling.

“Saya berangkat pukul enam pagi sampai habis, kadang kalau ramai jam sembilan sudah habis, kalau sepi ya sampai setengah hari,” ungkap pria paru baya yang sudah berusia 65 tahun tersebut.

Suraji mengutarakan, jika diusia senjanya ini, ia bersyukur masih diberi kesehatan untuk bisa memikul ethek yang beratnya mencapai 80-an kilo saat awal berangkat.

Bahkan jika kondisi usai hujan jalan untuk menuju sawah satu ke sawah lainnya tak jarang sangat licin dan becek. “Kalau terpelset sudah tidak terhitung, tapi alhamdulillah tidak sampai dagangan tumpah,” pungkas Suraji.

Setelah membacanya, apa kamu tertarik menikmati kopi di tengah sawah? Menarik bukan? Ini mungkin menjadi salah satu cara, seni menikmati kopi di tengah sawah yang unik ya.

Harga Jual Gabah Kering Giling di Ponorogo Terus Turun

Di samping berita unik di atas, sangat disayangkan juga bahwa diketahui harga gabah kering giling di Ponorogo cenderung turun.

Melansir, Jumat (19/3/2021) dari situs surabaya.tribunnews.com, Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Ponorogo, menyesalkan rencana pemerintah yang akan melakukan impor beras 1 juta ton.

Ketua PC LPPNU Ponorogo, Ahmad menyebutkan, wacana itu dinilainya bakal berdampak buruk pada kesejahteraan petani, terutama di Ponorogo. Pasalnya, pada akhir bulan Maret ini petani di Bumi Reog mulai memasuki masa panen.

Isu impor beras 1 juta ton tersebut pun sedikit banyak mempengaruhi psikologis pasar dan petani yang menyebabkan harga jual gabah turun terjun bebas. “Kalau memang pemerintah berpihak kepada petani, ya harusnya tidak akan impor beras saat panen raya seperti ini,” kata Ahmad, Rabu (17/3/2021) melansir, dari laman surabaya.tribunnews.com.

Ahmad juga mengaku telah menyambangi sejumlah petani di Ponorogo yang kemudian mengeluhkan harga jual gabah yang terus turun. Lanjut dia, biasanya harga Gabah Kering Giling (GKG) bisa mencapai Rp 5.200 per kilogram, namun kini hanya Rp 4.600 per kilogram.

“Harga pupuk non subsidi itu mahal, giliran petani mau panen, harganya murah. Kasian para petani ini,” aku Ahmad. Dengan tingginya harga pupuk dan rendahnya harga gabah tentu sangat merugikan petani.

Seorang petani asal Kecamatan Sukorejo, Suwardi juga mengeluhkan sulitnya menjual gabah hasil panennya. Tengkulak enggan membeli lantaran beralasan stok gabah di gudang masih ada dan melimpah.

“Tengkulak khawatir kalau membeli dengan harga sekarang, harganya semakin turun setelah impor beras,” katanya. (*)

  • Bagikan