Belanda Terapkan Peternakan Sapi Terapung untuk Antisipasi Dampak Iklim

  • Bagikan
Sapi Perah di Peternakan Terapung Milik Peter dan Minke van Wingerden.
Sapi Perah di Peternakan Terapung Milik Peter dan Minke van Wingerden.

Mediatani – Daratan Negera Belanda sebagian besar berada di bawah permukaan laut. Sehingga, lahan untuk peternakan amat terbatas dan perubahan iklim kini menjadi ancaman hari demi hari. Untuk menghadapai persoalan tersebut, Peter dan Minke van Wingerden (60) membuat sebuah inovasi “peternakan terapung” yang dimulainya dengan beternak 40 ekor sapi.

Kehadiran peternakan terapung pertama di kota pelabuhan Rotterdam dan bahkan di dunia ini, kini jadi pemadangan yang amat kontras. Pasalnya, peternakan apung tersebut berada di tengah lalu lalang kapal-kapal besar, dan asap yang mengepul dari kilang-kilang yang ada di pelabuhan terbesar di Eropa itu.

Di pelabuhan tersebut, peternakan terapung dibangun dari kapal tongkang tiga lantai yang beratapkan kaca. Sekawanan sapi yang diternakkan bisa makan dengan santainya di atas sebuah kapal tongkang. Sapi-sapi tersebut ditempatkan di lantai teratas bangunan peternakan apung.

Dengan menggunakan sistem tekhnologi peternakan modern, susu sapi diperah dengan menggunakan robot. Bangunan tiga lantai itu didesain secara terintegrasi. Lantai tiga untuk kandang peternakan sapi. Lantai dua untuk pengolahan susu menjadi produk seperti keju, yoghurt dan mentega. Sedangkan, lantai paling dasar didesain menjadi tempat proses pematangan keju.

Konsep peternakan sapi yang dimiliki Peter dan Minke di Negeri Kincir Angin ini diklaim akan menjadi lahan peternakan masa depan. Mereka ingin membawa suasana pedesaan ke kota sekaligus menggugah kesadaran para pelanggan agar mau berinovasi untuk menciptakan lahan pertanian sendiri.

Belanda menjadi eksportir produk pertanian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dengan  metode pertanian yang modern. Namun, di balik pencapaian tersebut ada konsekuensi yang harus dibayar dengan penerapan sistem pertanian yang modern.

Di sisi lain, saat ini Belanda tercatat sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar per kapita di Eropa. Sebagian besar emisi itu berasal dari bidang pertanian terutama pada sektor pengolahan susu, karena peternakan sapi menghasilkan gas metan yang amat banyak.

Adanya emisi gas rumah kaca tersebut telah memicu naiknya permukaan air dan mengancam ekosistem rawa-rawa di Belanda yang luasnya sekitar sepertiga luas total negara tersebut. Mengingat besarnya populasi penduduk di Belanda, penurunan luas lahan menjadi hal yang amat tak diinginkan.

Peter dan Minke semakin yakin bahwa inovasi miliknya dapat menjawab semua tantangan itu. Sehingga, pembangunan peternakan sapi terapung yang aman dapat berguna dalam jangka panjang serta berkelanjutan.

“Peternakan kami berada di atas air. Oleh karenanya, peternakan ini bergerak dengan menyesuaikan kondisi pasang-surut. Walau dalam kondisi air naik, kami bisa terus berproduksi,” ucap Minke.

Pasangan suami-istri van Wingerden mengatakan bahwa sapi-sapinya sama sekali tak pernah mengalami mabuk laut.  Arus air di sini bergerak amat lamban tak ubahnya saat kita berada di kapal pesiar.

Minke van Wingerden diumurnya yang 60 tahun, beranggapan bahwa dunia saat ini dalam tekanan sehingga Ia ingin beternak secara swasembada dan bahkan kalau bisa melakukan hal ini selama mungkin.

Program Peternakan Berkelanjutan

Sebagai upaya mendukung program pelestarian lingkungan yang berkelanjutan, sapi di peternakan yang dikelola Peter dan Minke diberi makan dari bahan-bahan yang tersedia di sekitarnya. Bahan pakan yang digunakan berasal dari pengelolaan limbah usaha pertanian lainnya.

Misalnya, limbah buah anggur yang diambil dari bank makanan. Selain itu, ada juga jerami diambil dari pabrik pembuatan bir, dan rumput diambil dari rumput yang dipotong dari lapangan golf dan lapangan sepakbola lokal.

Dengan inovasi seperti itu, peternakan ini bisa memanfaatkan kembali limbah makanan sekaligus mengurangi emisi yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan makanan ternak. Inovasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak.

Limbah peternakan yang dihasilkannya pun diolah menjadi produk baru. Kotoran ternak diolah menjadi pupuk pelet yang dapat dimanfaatkan di perkebunan. Sedangkan, air seni sapi diolah kembali hingga bisa jadi air bersih dan bisa dipakai untuk memberi minum bagi ternak.

Canggihnya lagi, untuk memenuhi kebutuhan energi di kapal tongkang peternakan terapung ini digunakan beberapa panel surya yang dipasang di bagian atap. Energi dari panel surya tersebut terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari bagi operasional peternakan ini.

Keuntungan lain yang dapat diraup dari peternakan sapi terapung ini adalah dari aspek pemasaran dan distribusi. Hal tersebut dicapai karena peternakan terapung ini tidak statis, produk seperti keju, yoghurt, dan mentega, bisa dijual langsung ke konsumen lokal dengan harga lebih murah.

“Ide peternakan terapung ini bukan semata-mata peternakan yang ramah lingkungan, namun konsepnya bisa diterapkan dimana saja dan menarik minat warga untuk turut serta bergerak dibidang sektor pertanian,” ungkap Minke.

Menyusul keberhasilan peternakan terapung di Belanda, Minke dan Peter kini berencana untuk membangun lagi sebuah kapal tongkang untuk dijadikan lahan pertanian bagi bercocok tanam sayuran, dan yang lebih menggembirakan lagi ternyata ide peternakan terapung Minke dan Peter ini juga akan diterapkan di Singapura dalam waktu dekat.

  • Bagikan