HET Beras Dinilai Tidak Realistis, Begini Penjelasannya

  • Bagikan
katadata.co.id

Mediatani.co — Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) tentang HET beras tidaklah realistis lantaran tidak memperhatikan sisi produksi dalam penetapan kebijakan tersebut.

Menurut Dwi, dengan harga gabah di atas Rp 5 ribu per kilogram seperti saat ini, HET beras medium sebesar Rp 9.450 per kilogram dinilainya tidak tepat.

Data BPS melaporkan bahwa harga rata-rata beras di penggilingan sudah mencapai Rp 9.280 per kilogram. “Dengan kondisi ini, beras sepantasnya memang dijual dengan harga di atas Rp 10 ribu per kilogram dengan perhitungan biaya distribusi,” ujar Dwi seperti yang dikutip oleh Katadata.co.id senin (5/12).

HET beras ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017. HET beras medium ditetapkan sebesar Rp 9.450 untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; Rp 9.950 untuk Sumatera, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan; serta Rp 10.250 untuk Maluku dan Papua.

Disamping itu, Dwi menganggap bahwa data pasokan beras yang diberikan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) belumlah akurat. Menurutnya, surplus beras yang diklaim oleh Badan Ketahanan Pangan Kementan yang mencapai 17,4 juta ton pada 2017 tidaklah benar karena seharusnya surplus tersebut dapat membuat harga di pasaran lebih rendah.

Kalau ada surplus sebanyak itu, harga beras hanya sekitar Rp 5 ribu hingga 6 ribu per kilogram, beras premium malah bisa sebesar Rp 6.500,” kata Dwi.

Sementara itu, soal ancaman sanksi dari Satuan Petugas  (Satgas) Pangan kepada pedagang yang masih menjual di atas harga yang sudah ditentukan,  hal itu tidak akan membatasi pedagang beras menjual di atas HET. Penyebabnya karena, pedagang tak akan mau rugi dengan menjual murah terutama di saat pasokan berkurang dan harga naik dari hulu.

Yang berlaku tetap hukum ekonomi, HET kan hanya sekadar aturan,” ujar Dwi

Dwi pun mengusulkan agar Presiden Joko Widodo segera memerintahkan bawahannya untuk lebih berhati-hati mengelola tata niaga beras. Gejolak harga beras sebagai bahan pokok bisa berdampak buruk terhadap stabilitas politik nasional. “Tahun ‘98 terjadi goncangan harga beras, akhirnya ada pergantian rezim,” pungkasnya.

 

  • Bagikan