Pencemaran Suara Juga Mengganggu Ekosistem Laut

  • Bagikan
Kebisingan di laut mengganggu ekosistem

Mediatani – Sebuah hasil penelitian mengungkapkan bahwa ekosistem laut terkena dampak negatif dari polusi suara (kebisingan) yang disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia yang ada di laut maupun di sekitar pesisir pantai.

Dilansir dari Kumparan, (11/3), penelitian yang melibatkan berbagai hewan laut yang terdiri dari invertebrata hingga paus membuktikan bahwa kebisingan yang mereka dengar sehari-hari telah mengganggu perilaku, fisiologi, reproduksi, bahkan yang paling ekstrim, dapat menyebabkan kematian.

Para peneliti menjelaskan bahwa kemungkinan kebisingan yang disebabkan oleh aktifitas manusia dianggap sebagai penyebab stres yang wajar pada skala global dan berbagai seruan untuk membuat kebijakan untuk mengurangi dampaknya terhadap ekosistem lautan juga sudah dilakukan.

Laut memang menghasilkan berbagai suara, seperti deburan ombak yang terjadi di sepanjang garis pantai atau suara yang bersumber dari fenomena alam, seperti hujan, gempa bumi dan sebagainya.

Namun, suara dalam lingkungan laut tersebut bertambah riuh sejak berkembangnya industrialisasi, seperti banyaknya kapal, anjungan minyak lepas pantai dan berbagai aktifitas manusia lainnya yang mengakibatkan polusi suara.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Carlos M. Duarte, profesor terkemuka di Universitas Sains dan Teknologi King Abdullah (KAUST) mempelajari bagaimana suara buatan manusia memengaruhi satwa liar untuk melihat prevalensi global dan intensitas dampak kebisingan laut.

Dikatakan, berbagai aktivitas manusia kemungkinan telah membungkam suara dari hewan laut yang mendominasi lautan yang masih asli saat manusia belum menjajaki lautan sebagai salah satu sumber daya yang dapat dimanfaatkan.

Dikutip dari Mongabay, sebelum tahun 1950, tingkat polusi suara di laut diperkirakan belum terlalu tinggi. Paus dengan menggunakan sonar dapat lancar menjalin komunikasi dengan paus lainnya. Begitu juga dengan anjing laut yang mengandalkan sonar untuk berburu makanan, mencari pasangan, dan juga berkomunikasi.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa mulai dari tahun 1950 hingga 1975 terjadi level kenaikan suara telah mencapai 10 desibel. Padahal, masa-masa sebelumnya selama 150 tahun aktivitas manusia tidak terlalu berpengaruh terhadap pencemaran suara di laut.

Dalam hitungan logaritmik, sepuluh desibel adalah level yang signifikan, dimana angka tersebut mengalami kenaikan hingga sepuluh kali lipat. Suara juga lebih cepat dan lebih jauh merambat dalam air dibanding udara.

Berbagai habitat, seperti terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut juga menjadi rusak akibat aktivitas penangkapan yang berlebihan, pembangunan pesisir, perubahan iklim, dan tekanan manusia lainnya yang semakin meredam suara karakteristik yang dapat mengarahkan larva ikan.

Begitu juga dengan hewan laut lain yang pergi ke permukaan laut untuk mencari dan menetap di habitat mereka, secara sederhana mereka tidak lagi mendengar “panggilan rumah” dari ekosistem dan wilayah hewan-hewan laut tersebut.

Menurut para peneliti, suara buatan manusia telah mencemari lingkungan laut antroposen dan harus direstorasi ke suatu iklim yang lebih alami. Namun, upaya untuk meningkatkan kesehatan laut yang ada saat ini mengabaikan prasyarat mengurangi kebisingan.

Tim peneliti mulai mendokumentasikan dampak kebisingan pada hewan laut dan ekosistem laut yang terjadi di seluruh dunia. Mereka mengumpulkan bukti yang meyakinkan bahwa suara buatan manusia berdampak pada kehidupan laut dari invertebrata hingga paus di berbagai tingkatan, mulai dari perilaku hingga fisiologi.

Kesimpulan sementara dari penelitian tersebut, pengurangan aktivitas manusian yang menimbulkan dampak kebisingan pada kehidupan laut adalah kunci untuk mencapai laut yang lebih sehat.

Studi yang dipimpin KAUST ini mengidentifikasi beberapa tindakan yang mungkin harus dibayar tetapi relatif mudah diterapkan untuk meningkatkan kesehatan laut.

Misalnya, dengan membuat inovasi teknologi yang sederhana untuk mengurangi kebisingan baling-baling dari kapal dan melakukan berbagai upaya untuk mengurangi laju kapal serta lebih bijaksana dalam merencanakan transportasi laut.

  • Bagikan