Modal Listrik, Fauzi Tetaskan Ratusan Kalkun dengan Omzet Rp 5 Juta hingga Berhasil Kuliahkan Anak 

  • Bagikan
Fauzi Mahfud (51), mengandalkan inkubator listrik untuk membantu penetasan telur/ Via TribunJateng.com/ Foto: Raka F Pujangga

Mediatani – Bagi seorang peternak ayam kalkun di Kudus, listrik menjadi kebutuhan primer. Ialah Fauzi Mahfud‎ (51), yang juga anggota Komunitas Kalkun Kudus (K3), warga RT 1 RW 4, Desa Undaan Kidul, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus‎.

Spesifikasi Fauzi adalah peternak yang secara khusus menyediakan anak ayam kalkun berusia satu hingga dua minggu untuk dipasarkan kepada konsumen. Melalui proses inkubasi buatan, Fauzi bisa meningkatkan nilai jual telur yang semula senilai Rp 10 ribu per butir, bisa menjadi Rp 25 ribu per ekor.

Fauzi Mahfud (51), mengandalkan inkubator listrik untuk membantu penetasan telur/ Via TribunJateng.com/ Foto: Raka F Pujangga

“‎Telur dimasukkan selama 24 hari ke dalam inkubator buatan sendiri yang bahannya dari kotak kayu, diberi lampu bohlam dan pakai listrik PLN,” jelas Fauzi melansir dari situs tribunjateng.com, Sabtu (13/3/2021).

Dirinya mengandalkan listrik PLN yang menyala 24 jam untuk bisa menetaskan telur ayam kalkun. Dengan tanpa bantuan inkubator bertenaga listrik itu, dia pun pastinya kesulitan menetaskan 200 telur per bulan yang dihasilkan dari peternakan sederhananya di belakang rumah.

“Kalau pakai alat inkubator ini, ‎kemungkinan menetasnya sampai 90 persen. Tanpa inkubator, prosentase gagalnya sampai 50 persen,” jelas dia. Dengan begitu, dia bisa menekan 40 persen penetasan telur ayam kalkun setiap bulannya menggunakan metode pemanasan buatan bertenaga listrik.

Apalagi, lanjut dia, biaya yang dikelua‎rkan untuk energi listrik itu tidak terlalu tinggi hanya Rp 100 ribu per bulan. Diketahui saat membayar tagihan istrik yang semula Rp 150 ribu per bulan beban tagihannya hanya naik menjadi Rp 250 ribu per bulan.

“Sebelum ada ternak ayam kalkun ini saya mengeluarkan uang untuk bayar listrik Rp 150 ribu. Kini hanya bayar Rp 250 ribu per bulan, jadi modalnya cuma Rp 100 ribu,” jelas dia.

Ya! Hanya bermodalkan listrik Rp 100 ribu, Fauzi mampu meraup keuntungan ‎Rp 5 juta sampai 7 juta per bulannya. Jumlah itu dihitung dari estimasi harga ayam kalkun usia satu minggu dan dua minggu yang dibanderol Rp 25 ribu sampai Rp 35 ribu per ekornya.

Pada tiap bulannya, Fauzi mampu menetaskan sedikitnya 200 ekor ayam kalkun yang siap dijual. “Begitu menetas, usia satu sampai dua minggu langsung dijual. Karena ayam kalkun yang usianya di atas dua minggu sudah butuh pakan yang banyak,” ujar dia.

Di dalam pengelolaannya, setiap kandang dipisahkan sesuai umur ayam kalkun, hal itu agar pemeliharaannya bisa lebih mudah. Halaman seluas 15 meter persegi di area peternakannya itu juga disekat menggunakan jaring, sehingga kalkun bisa dilepas dari kandang tanpa khawatir keluar dari peternakan.

Modal untuk pembuatan peternakan sederhananya itu sekitar Rp 25 juta, termasuk beberapa ekor ayam kalkun. Dia berusaha menghemat biaya dengan membuat beberapa peralatannya sendiri, di antaranya kotak inkubator.

Kotak itu dibuatnya hanya dengan modal sebesar Rp 250 ribu‎, lebih murah daripada membeli yang sudah jadi. Satu kotak inkubator yang terbagi dalam empat laci itu memiliki kapasitas‎ masing-masing 50 telur sehingga totalnya mencapai 200 telur.

Saat ini, Fauzi memiliki dua kotak inkubator yang total keseluruhannya mencapai 400 butir telur. Lampu bohlam berdaya 5 watt, menjadi sarana untuk memanaskan ‎ratusan telur yang ada di sana. Suhunya d‎ijaga stabil antara 37,5 derajat hingga 38,5 derajat celcius.

“Musim dingin begini, suhu 38,5 derajat lebih sesuai, kalau musim panas bisa diturunkan satu derajat cecius,” kata dia.

Fauzi juga selalu menjaga kualitas pakan agar indukan ayam kalkun mampu menghasilkan telur berkualitas. Selain itu, biasanya mencampurkan pakan bekatul menggunakan eceng gondok dan cangkang telur ke dalam makanannya.

Sedikitnya 2,5 kwintal pakan habis dalam sebulan untuk konsumsi 34 ekor induk ayam kalkun. “Cangkang telur itu mengandung kalsium yang tinggi dan bagus untuk konsumsi,” jelas pria yang telah dua tahun beternak ayam kalkun itu.

Telur yang berkualitas sebelum penetasan dapat terlihat dari kondisi fisiknya. Telur yang bagus akan memiliki ukuran yang besar.

“Nanti kalau sudah jadi indukan kelihatan juga akan memiliki kaki yang besar,” ujar dia.

‎Ketika sudah besar dan siap untuk menghasilkan telur. Fauzi tak pernah menggunakan zat kimia agar ayamnya bisa bertelur. Dia melalui proses itu secara alami, sehingga selalu ada jeda selama 40 hari setiap empat bulan sekali.

“Setiap empat bulan, pasti ayam ini berhenti bertelur selama 40 hari. Kemudian bisa bertelur lagi,” ujar dia.

Fauzi Mahfud (51), mengandalkan inkubator listrik untuk membantu penetasan telur/ Via TribunJateng.com/ Foto: Raka F Pujangga

Sebagai peternak, Fauzi mengutamakan kualitas telur. Jika dipaksakan bertelur, ayam kalkun akan menghasilkan kualitas yang buruk.

‎Sehingga saat proses dimasukkan ke inkubator pun akan berjalan tidak baik karena telur gagal menetas. “Nanti telurnya tidak ada embrionya, jadi dicek cuma kosong. Biasanya kalau sudah begitu, nggak bisa menetas,” ujarnya.

‎Setelah menetas, dia mengirimkan ke wilayah Kabupaten Pati, Demak, Semarang, dan Salatiga. Anak ayam kalkun ‎produksinya banyak diburu pengepul karena kualitas dan harga yang jauh lebih bersaing.

Usahanya tersebut kini telah menjadi pendapatan utama dan mampu membiayai kuliah dua anaknya hingga perguruan tinggi.

“Anak saya tiga, dua anak masih kuliah berkat ternak ayam kalkun bisa membiayai sampai sekarang,” ujar dia.

Kamu juga bisa mencoba beternak ayam kalkun, simak langkah-langkahnya dengan klik di sini. (*)

  • Bagikan